Mitsaqan Ghaliza

2.5K 52 3
                                    

"Mau ke mana, Mas?" tanyaku begitu melihat Mas Zaenal berdandan rapi dengan parfum yang wangi.

"Mau anter Kang Ujud ke rumah istri mudanya. Motornya lagi di bengkel, baru bisa diambil besok."

"Ke rumah Kang Ujud kok pake parfum segala?" selidikku. Pasalnya, aku pernah diberi tahu Bu Sinta kalau Mas Zaenal sering mampir ke tempat Rukmana, janda kembang yang tinggal di depan rumah Kang Ujud.

Waktu itu aku kurang percaya perkataan Bu Sinta karena dia suka asal kalau bicara. Namun, penampilan Mas Zaenal kali ini cukup menimbulkan kecurigaan.

"Mas, pas aku lewat kemarin, aku lihat kamu keluar dari rumah Rukmana. Untuk apa kamu ke sana?" todongku. Memang sengaja berbohong, tapi tidak apa, demi kebaikan.

Mas Zaenal tampak tak terpengaruh. Ia santai sekali menjawab, "Ah, itu. Krannya mati, suruh benerin."

"Kran mati kok setiap hari?"

Mas Zaenal menghentikan langkah. Ia memandangku.

"Iya. Apa urusannya sama kamu? Aku lagi PDKT ke dia. Barangkali mau dijadikan istri kedua. Dia kan punya usaha laundry yang cukup sukses, bisalah untuk mencukupi kebutuhanku. Lagipula, aku pengen punya anak. Sama kamu, sudah lama menikah, tak kunjung punya keturunan. Kalau aku nggak cari perempuan lain, darahku bisa punah."

"Mas!" teriakku. Benar-benar tajam lidahnya. Lalu, "Aku belum punya anak karena kamu juga, Mas. Kamu dorong aku waktu aku hamil sampai keguguran. Kok kamu tega, sih, ngomong gitu. Lagipula kamu dulu seneng waktu aku keguguran karena nggak perlu repot-repot mikir biaya hidup anak, kok sekarang kamu jadi ngomong gitu?" Air mataku mulai mengalir.

"Aku udah berubah pikiran. Udah, ah, aku mau berangkat. Sebel liat orang dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis. Lagi pula sejak ribuan tahun lalu, laki-laki punya istri lebih dari satu itu biasa. Wanita aja yang harus siap dengan kemungkinan itu. Kamu nggak usah sok-sokan emansipasi kayak yang lain. Emansipasi-emansipasi gombal."

Mas Zaenal menyalakan motornya dan memutar gas dengan keras. Aku terkulai di depan pintu. Aku ada di kota ini karena dia. Kalau dia sudah tidak peduli padaku, untuk apa aku di sini? Namun, tak semudah itu. Aku hanya ingin menikah sekali saja dalam hidup, tidak mau sedikit-sedikit minta cerai.

Ada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah saya pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.”

Pernikahan bukan sembarang perjanjian, melainkan perjanjian agung, yang dalam bahasa Al Qur'an disejajarkan dengan mitsaqan ghalidza antara Allah dengan para Rasul Ulul Azmi. Juga mitsaqan ghalidza antara Allah dengan Bani Israil, dalam Al Qur'an diceritakan bahwa, saat melakukan perjanjian ini sampai-sampai Allah angkat Gunung Thursina di atas kepala Bani Israel.

Pernikahan bukan mainan yang tidak cocok sedikit bubar, menderita sedikit minta cerai. Tidak begitu. Aku harus kuat menjalani semua ini. Batu saja kalau terus ditetesi air akan berlubang, hati suamiku pasti akan kembali lembut jika menyaksikan kesabaranku menghadapinya.

Aku sudah sering sekali berperang dengan diri sendiri, antara ingin pulang ke rumah orang tua atau terus bertahan. Jawabanku selalu memilih bertahan dengan berbagai macam pertimbangan.

Ah, aku harus bangkit. Bukankah hari ini aku bertekad mendapatkan pekerjaan agar kehidupanku dan Mas Zaenal sedikit lebih baik? Kuusap air mata dengan ujung jilbab berenda yang kukenakan, lalu melangkah gontai ke dapur, tempat di mana kutaruh sepeda. Setelah menutup pintu, aku berangkat.

MENYUSUI SURGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang