Seberkas Cahaya

1.7K 54 2
                                    

Setelah dihajar Mas Zaenal tadi siang sampai sore, badanku remuk redam. Aku menggulung diri dalam selimut dengan perut yang masih keroncongan. Air mata tak mau berhenti, sampai mataku terasa sebesar bola bekel. Aku ini istri apa budak keegoisan suami? Bapak saja tidak pernah mencubitku. Jika dia tahu kelakuan Mas Zaenal, sudah pasti aku dijemput dan diberi perlindungan.

Namun, aku bukan anak kecil lagi yang apa-apa bisa mengadu. Bapak sudah bertambah tua, kasihan kalau harus mendengar rumah tanggaku yang tidak harmonis ini.

"Sayang ...." Suara Mas Zaenal. Kali ini lembut, tidak membentak-bentak.

Kurasakan kasur sedikit bergoyang. Mungkin dia duduk di ranjang. Aku tetap menghadap dinding. Luka yang dia tinggalkan di tubuh ini, tak ada seujung kuku dari luka hatiku.

"Sayang, maafkan aku. Wajar kan kalau suami cemburu pada istrinya?" Mas Zaenal mengelus pundakku, lalu menempelkan pipinya di situ.

"Aku ingin membakar sumur saat Kang Ujud bilang melihatmu naik mobil bersama Iskandar. Aku merasa seperti badut," ucapnya, masih dengan suara yang lembut.

"Maafkan masmu yang tempramen ini ya, Sayang," imbuhnya.

"Sedalam apa rasa bersalahmu?" lirihku.

"Jangan bertemu lagi dengannya. Kerja di tempat lain saja. Tidak usah mengajar."

"Aku sudah mencari kerja ke sana-sini, tapi tidak ada. Tadi Bu Nyai menawariku mengasuh Husen. Mereka akan membayar sebagaimana umumnya dan tetap mengijinkanku mengajar. Di sini, pengasuh itu digaji sekitar satu juta kan? Belum lagi upah dari mengajar. Bisa lumayan penghasilanku untuk biaya hidup kita. Kalau di toko grosir kan dari pagi sampai malam, paling gajinya juga nggak jauh-jauh dari satu juta. Belum lagi nanti aku nggak bisa siapin makanan buat Mas."

Mas Zaenal terdiam. Aku menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Akan repot kalau dia tidak mengizinkan. Meski begitu, aku cukup lega mengetahui bahwa dia masih memiliki rasa cemburu.

Bukankah Rasul pernah mengatakan, tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, pertama orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Kedua, perempuan yang menyerupai laki-laki. Yang ketiga dayuts, suami yang tak memiliki rasa cemburu pada istrinya. Berarti suamiku masih memiliki kebaikan di dalam hatinya. Semoga hubungan kami membaik setelah ini.

Mas Zaenal menghela napas panjang yang nyaris menyerupai desahan. Lalu, "Baiklah. Kamu boleh kerja di sana asal kamu tidak macam-macam. Tapi, kalau nanti aku bisa membiayai hidup kita lagi, kamu harus berhenti."

"Itu pasti," jawabku.

Padahal aku pesimis dia akan menjalankan kewajiban sebagai tulang punggung keluarga lagi. Pekerjaannya sehari-hari saja cuma ngalor-ngidul dengan Kang Ujud. Pria yang memiliki dua istri dan kerjanya tak jelas.

Aku pernah dengar perbincangan ibu-ibu saat belanja di rumah Yu Saroh, Kang Ujud itu semacam paranormal yang bisa menyembuhkan orang gila, memasang susuk, mengirim pengasihan, dan memiliki ilmu kebal yang tak mempan dibacok. Menjelang malam, banyak orang dari luar daerah yang datang ke rumahnya.

Aku pernah melarang Mas Zaenal dekat-dekat dengannya, tapi suamiku malah naik pitam, dibilang aku mengekanglah, kurang pergaulanlah, dan lain-lain yang membuat sakit telinga.

Aku bangkit, ingin mengambil makanan di dapur. Mas Zaenal melarang, dia menawarkan diri melayaniku. Sekali-kali tak apalah. Mungkin dia benar-benar merasa bersalah.

Malam ini kami makan diiringi obrolan hangat seperti pasangan suami istri yang bahagia.

***

Jam tujuh pagi, aku sudah siap jalan ke mushola. Setelah itu, aku akan mengasuh Husen. Semoga bocah itu tetap menurut padaku dan tidak rewel sehingga aku bisa bertahan lama kerja di sana.

MENYUSUI SURGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang