Keesokan harinya, Iskandar bersikap aneh. Ruang kerjanya--yang kata Mbok Katri--selalu dibuka, hari ini ditutup. Bahkan--masih kata Mbok Katri--Iskandar meminta agar mulai hari ini kopinya ditaruh di luar ruang kerja. Nanti akan diambil sendiri. Mungkin dia sibuk sehingga tidak ingin diganggu.
Kujalankan tugas seperti kemarin, menemani Husen bermain, memandikannya, menyuapi, dan lain sebagainya. Hari ini Husen tidak rewel sehingga agak mudah kerjaku.
Sampai malam tiba, aku tak melihat Iskandar keluar dari ruang kerja, kecuali tadi siang saat dia akan berjamaah di masjid. Mungkin ketika azan ashar dia keluar juga, tapi aku tak melihat karena sedang memandikan Husen.
Malamnya, Husen tidur dengan mudah. Ia bahkan tidak minta ditemani Iskandar. Firasatku mengatakan, Iskandar sengaja menghindar. Tapi kenapa? Apa ada yang salah dengan caraku berinteraksi dengannya?
***
Mas Zaenal mulai berubah perangainya. Pagi ini, ia mengantarku lagi seperti dua hari sebelumnya. Padahal jarak rumah ke mushola tidak sampai setengah kilo. Aku senang, akhirnya rumah tangga kami membaik.
Hari ini aku berangkat sepuluh menit lebih awal. Ketika sampai di halaman mushola, kulihat belum ada ibu-ibu yang datang. Suasana yang sepi membuat Mas Zaenal bertingkah iseng. Tiba-tiba saja dia mengecup bibir ini. Malu jika dilihat orang, aku berontak. Namun, tenaga wanita kalah kuat. Mas Zaenal mencengkeram erat kepalaku sehingga kecupan itu terjadi selama beberapa detik.
Ketika Mas Zaenal melepas kecupannya, pandanganku mendapati Iskandar berdiri di undak-undakan rumah Bu Nyai. Lelaki itu menatap kami dengan sorot mata datar, lalu segera masuk mobil, mengendarainya seorang diri. Dia melewati kami tanpa menoleh, apalagi menyapa. Padahal biasanya Iskandar menebar salam dan senyum. Apa Iskandar baik-baik saja?
"Apa-apaan sih kamu, Mas. Ngono yo ngono, tapi jangan di tempat umum," gerutuku.
Mas Zaenal terkekeh. Ia gas motornya, lalu pergi. Aku geleng-geleng kepala.
Bersamaan dengan deru motor Mas Zaenal yang semakin jauh, muncul Bu Ratih dan Bu Neni dari pintu gerbang. Keduanya tersenyum melihatku sudah berdiri di halaman mushola.
"Assalamu'alaikum, Mbak Esya," sapa Bu Neni.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ibu-ibu sudah siap kan hapalan wazannya?" tanyaku seraya menatap dua orang itu bergantian.
"Insya Allah, Mbak. Maklumlah kalau nanti ada kurangnya. Kemampuan menghapal kami sudah menurun. Tapi, syukurnya aku dibantu Bu Sinta, jadi mulai lancar. Cuma masih rancu membedakan wazan bab fa'ala yaf'alu dengan bab fa'ala yaf'ilu," jawab Bu Ratih.
"Nanti akan kita pelajari cara membedakan mana yang masuk bab satu dan mana yang masuk bab dua itu ya, Bu," terangku.
"Itu Bu Sinta." Bu Neni menyela. Telunjuknya menunjuk pada wanita berbaju oranye yang tergopoh menuju halaman.
Bu Sinta mengucapkan salam dengan ngos-ngosan. Setelah menjawab salamnya, aku bertanya, "Kok seperti buru-buru. Ada apa, Bu?"
"Anu, itu, ada yang tabrakan di pertigaan," jawab Bu Sinta.
"Siapa tabrakan dengan siapa, Bu?" tanyaku.
"Pak Iskandar, Mbak."
Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar nama yang disebut Bu Sinta.
"Yang satu, mobilnya Pak Iskandar, yang satu belum jelas mobil siapa. Ini saya mau kasih tahu Bu Nyai," tambah Bu Sinta.
Perempuan itu mengangkat roknya dan berjalan cepat ke rumah Bu Nyai.
"Kalau gitu kelasnya kita liburkan dulu ya, Ibu-ibu," kataku. Aku langsung bergegas ke rumah Bu Nyai.
Bu Ratih dan Bu Neni setuju. Mereka mengikuti langkahku ke beranda rumah Bu Nyai. Sayup-sayup terdengar jeritan Bu Nyai. Husen berlari dari dalam rumah. Aku segera mendekapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan