Saran-Saran

2.9K 43 5
                                    

Bu Nyai berjalan mendekatiku seraya membenarkan jilbabnya. Perempuan bertahi lalat di pipi itu tidak tersenyum seperti biasa. Justru tampak prihatin.

"Le, apa Nak Esya sudah diambilkan minum?" tanyanya pada Iskandar yang kini duduk di hadapanku.

"Saya panggilkan Mbok Katri dulu, Bulek."

"Tidak usah, Le. Biar bulek saja. Kasihan Mbok Katri baru lelap tadi habis lipat baju." Bu Nyai kembali masuk.

Aku dan Iskandar diam seribu bahasa.

"Sebenarnya apa yang terjadi, to, Nak? Iskandar tadi cerita kamu mau digerayangi sama teman suamimu, benar begitu?" tanya Bu Nyai begitu ia kembali dengan segelas air putih.

"Saya juga ndak paham betul, Buk. Tapi, tadi Kang Ujud bilang saya dijual sama Mas Zaenal. Kalau saya tidak mau, Mas Zaenal akan dijadikan tumbal," jelasku dengan gugup.

"Tumbal?" Iskandar mencondongkan tubuhnya. Ia tampak penasaran.

"Beberapa hari lalu suamiku pulang bawa keris kecil. Katanya pemberian Kang Ujud. Benda itu bertulah, bisa memberinya kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit," jawabku.

"Astaghfirullah ... inikah yang ingin kau ceritakan padaku tempo hari?" tanya Iskandar.

Aku mengangguk.

"Nak, sudahkah kau mengingatkan suamimu untuk meninggalkan semua itu? Mumpung belum telanjur jauh," ucap Bu Nyai.

"Mas Zaenal tak menghiraukan perkataanku, ya seperti hari-hari biasa kalau aku mengingatkannya untuk kembali bekerja, tidak minum, tidak keras hati. Dia menganggap angin lalu."

"Aku takut pada hadist, 'Barangsiapa mendatangi seorang dukun atau peramal, lalu dia percaya pada apa yang dikatakan maka dia telah mengingkari syari’at yang diturunkan pada Nabi Muhammad.' Kau harus terus mengingatkan dia, Nak. Harus dengan lembut, jangan kasar, ya," saran Bu Nyai.

Iskandar menyahut, "Maaf, Bulek. Saya tidak setuju. Mengingatkan itu jika suami melakukan dosa yang tidak ada sangkut pautnya dengan istri, tapi jika sudah membahayakan akidah dan jiwa raga itu tidak cukup sekedar mengingatkan.

"Biar kuperjelas, ada dua derajat istri meminta pisah. Yang pertama, istri punya hak menggugat cerai jika sang suami tidak solat, minum-minuman keras, atau menipu orang. Di sini, tugas istri sebatas mengingatkan, kalau diingatkan tidak bisa. Maka, istri berhak meminta cerai.

"Derajat yang kedua adalah wajib. Ketika kefasikan suami sudah mengganggu sang istri. Contoh, dia mencari nafkah haram, berzina, yang mana bisa menularkan penyakit pada istrinya, KDRT, mendatangi istri dari lubang belakang, dan lain sebagainya yang membahayakan jiwa istri.

"Untuk Esya ini saya rasa sudah masuk derajat wajib minta pisah. Kalau tidak, lain waktu tidak menutup kemungkinan suaminya akan memaksanya lagi berhubungan intim dengan pria lain. Naudzubillah."

"Bukankah itu terlalu buru-buru, Le?" tanya Bu Nyai pada Iskandar.

Iskandar menatapku. Kutundukkan pandangan ke meja kaca yang di bawahnya berhias batu alam.

"Apa kau pernah dipukuli suamimu? Apa kau dinafkahi secara layak atau justru kau yang mencari nafkah? Apa suamimu percaya perdukunan? Apa suamimu berusaha membuka auratmu di hadapan banyak orang?" tanyanya.

Aku tahu itu bukan sebenar-benarnya pertanyaan. Iskandar sedang menegaskan tindakan-tindakan jahat suamiku yang diketahui olehnya. Aku bingung, seperti ada tornado berputar di kepala ini. Aku pun menangis tersedu-sedu.

Bu Nyai menarikku dalam pelukannya. Perempuan bertubuh gemuk itu membelai kepalaku layaknya seorang ibu.

"Astaghfirullah. Saya minta maaf jika ada kata-kata yang menyinggungmu, Sya. Saya terbawa emosi," sesal Iskandar.

MENYUSUI SURGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang