Bukan Salahku

7.3K 78 21
                                    

Aku pulang dengan nelangsa. Terbayang pelototan mata Mas Zaenal dan teriakannya yang memekakkan telinga karena aku tak bawa apa-apa. Semenjak dipecat dari instansi tempat bekerja, ia sering sekali marah-marah. Aku memaklumi hal itu. Katanya, pekerjaan adalah harga diri bagi laki-laki. Pantas Mas Zaenal menjadi galak ketika kehilangan pekerjaan.

Alasan dia dipecat pun tak kuketahui hingga kini. Mas Zaenal tidak mau memberi tahu. Setiap kali kutanya ia hanya menjawab, "Alah, kamu tidak akan mengerti. Kamu kan cuma lulusan Aliyah. Mana ngerti beginian." Apa yang dikatakannya memang benar. Aku sama sekali tak mengerti urusan pekerjaannya sehingga aku tak tanya-tanya lagi soal itu.

Bu Sinta yang tahu tentang kekasaran sikap suamiku pernah mengatakan, "Dulu gimana sih Mbak kok bisa salah pilih gitu? Mbak dulu kenal sendiri tanpa perantara, ya. Jadi nggak tahu tabiat asli suaminya." Begitulah manusia memang, mudah sekali menghakimi hidup orang lain. Aku sudah melakukan segala ikhtiar sesuai tuntutan syari'at sebelum menerima pinangan Mas Zaenal.

Dua setengah tahun lalu kami diperkenalkan oleh Pak Ali, kawan Bapak. Saat itu Mas Zaenal sedang bertugas di Yogya, kampung halamanku. Selama di sana, Mas Zaenal tinggal di kosan Pak Ali. Beliau yang tertarik pada kepribadian Mas Zaenal yang tatas, titis, tetes, tutug, dan tekan dalam bicara, tergerak mencarikan istri untuknya.

Pak Ali menghubungi Bapak. Bapak menyetujui rencana Pak Ali untuk menjodohkanku dengan Mas Zaenal. Kami dipertemukan seminggu setelahnya. Aku yang masih delapan belas tahun deg-degan luar biasa ketika pertama kali bertatap muka dengannya. Kalau soal wajah, Mas Zaenal tidak bisa disebut tampan, tapi juga tidak jelek. Biasa-biasa saja. Tingginya pun nyaris sama denganku.

Ada satu pernyataan Mas Zaenal yang membuatku terkesan waktu itu, yang akhirnya mendasari keputusan paling penting, yaitu bersedia menghabiskan hidupku bersamanya.

"Saya cocok dengan Dek Esya. Apabila Dek Esya juga merasa begitu, maka saya berjanji akan menjaga Dek Esya lebih dari saya menjaga diri sendiri. Apabila setelah menikah Dek Esya punya keinginan kuliah, saya akan mendukungnya. Jika Dek Esya belum piawai dalam urusan dapur, maka akan saya carikan asisten rumah tangga untuk mengurus semua keperluan. Yang saya inginkan adalah seorang istri yang selalu menyenangkan hati saya, bukan untuk menjadi pembantu."

Penuturan panjangnya itu bagai sinar mentari yang menghangatkan hatiku. Aku pun menerimanya saat itu juga. Pernikahan dilangsungkan empat bulan setelahnya. Tidak terlalu lama atau akan menimbulkan fitnah dan dianggap masing-masing pihak tidak serius melangsungkan pernikahan.

Rentang masa setelah kitbah hingga pernikahan, komunikasi kami sangat dibatasi. Jika ada yang penting, aku menyampaikan pada Bapak. Beliau yang akan menyampaikannya pada Mas Zaenal. Begitu pula sebaliknya.

Sebulan setelah akad nikah, bersamaan dengan berakhirnya masa tugas Mas Zaenal di Yogya, aku diboyong ke kampung halamannya di pelosok Tulungagung. Kami tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Mas Zaenal sebatang kara kini. Ibunya sudah meninggal enam tahun lalu karena serangan jantung, sedang bapaknya sakit diabetes dan hipertensi, menyusul sang istri satu tahun kemudian.

Kami menempati rumah yang lumayan besar itu hanya berdua. Mulanya, kehidupan kami normal-normal saja seperti rumah tangga pada umumnya. Meski tidak banyak, Mas Zaenal memberiku uang bulanan. Itu terjadi sekitar enam bulan lamanya. Lalu, sebuah peristiwa terjadi. Aku tidak tahu apa pemicunya, tahu-tahu pulang kerja dia marah-marah, dia menuduhku istri boros, tidak bisa mengatur duit, dan segala caci maki lainnya yang tak enak didengar telinga.

Sejak hari itu, Mas Zaenal memberiku uang seminggu sekali, itu pun jumlahnya dikurangi. Aku menduga dia begitu bukan karena aku benar-benar boros, melainkan dia sengaja cari-cari alasan agar bisa sepuasnya menghabiskan uang untuk membeli rokok dan paket internet.

MENYUSUI SURGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang