Kelas 11

256 26 13
                                    


     
      Ruang kelas itu tidak begitu istimewa, layaknya ruang kelas lain. Ruang dengan luas lebih dari 60 meter persegi itu dihuni murid tak sebanyak kelas lainnya. Itu seperti kelas khusus dengan fasilitas dan pelajaran yang melebihi kelas standar pada umumnya. Kedisplinan adalah hal utama di kelas yang memiliki murid yang katanya lebih baik dari kelas lain. Kecuali Kessa yang lebih banyak memberi perhatian pada hal lain. Hal yang sayangnya bertolak belakang dengan dunia pendidikan.

      Kessa sudah kembali ke dalam kelasnya beberapa jam lalu, begitu juga murid laki-laki yang membuat harinya nyaris sempurna. Seorang cowok menyebalkan yang datang memasuki kelasnya lima belas menit kemudian. Seorang cowok yang sudah menebarkan bibit permusuhan dalam dirinya.  Apa boleh buat itu jalan yang dia minta dan Kessa harus menerimanya.

      “Kessa! Kau harus jelaskan pada kami pengertian eksitensi dari sastra itu?” Tanya seorang guru pada Kessa, setelah guru itu selesai menerangkan panjang lebar tentang sastra.

      Kessa sedikit terkejut karena sejak memasuki kelas, perhatiaan dirinya jadi mengacau. Sulit untuk menyimak dengan baik pelajaran yang sedang dihadapi. Kini Kessa jadi merasa kewalahan mendapat pertanyaan yang tak disangka untuk dirinya. Sebuah kecerobohan yang dengan mudah dapat tertangkap oleh seorang guru mana pun. Dalam kebingungan yang mendera, Kessa melirik ke sana kemari berharap bisa mendapat contekan atau sedikit bantuan umtuk sekedar mematahkan perhatian ke sisi yang lain. Kessa akan senang sekali jika guru itu mau melimpahkan pertanyaan tersebut ke murid lain yang lebih siap. Harapan yang tampaknya sia-sia saja.

      “Ajaran atau petunjuk yang berupa tulisan…,” jawab Kessa terbata-bata dan sebisanya, setelah membaca dan menemukan yang baginya merupakan titik terang. Kessa hanya perlu mengembangkan sedikit tulisan yang tertera di white board itu.

      “Sastra merupakan buah pemikiran dari hasil kebudayaan suatu lingkungan yang tertuang dalam suatu karya baik berupa tulisan ataupun lisan yang mana sebaiknya memiliki unsur yang mengajak. Sehingga wajar kalau sastra dibuat seindah mungkin melebihi kebudayaan itu sendiri demi untuk memikatnya?” terang seorang murid laki-laki yang sudah jadi musuh besar Kessa seraya melirik ke arahnya. Suaranya jelas dan lancar. Satu ketenangan yang membawanya pada suatu kemenangan tersendiri. Sebuah kemenangan yang sebaiknya tak perlu ada sorak pujian untuk merayakan karena tak ada bagusnya kemenangan yang direbut dengan cara menyingkirkan orang yang dikenal dengan baik.

     “Tak baik memotong sebelum baginya diberi kesempatan,” ucap Ayana, teman sebangku Kessa, lirih dan setengah berbisik padanya.

      Kessa tak menghiraukan bahkan saat satu ungkapan protes kecil datang dari Ayana guna memihak dirinya. Jelas Ayana tak senang Kessa mendapat satu perlakuan yang tak menguntungkan.

      Kessa sendiri sedikit pun tak mengeluh saat tahu ada pertarungan kecil yang melibatkan dirinya. Kalau boleh jujur Kessa tak menginginkan perdebatan kecil itu dan tak mau peduli. Perdebatan receh dan beruntung Ayana yang mau menanggapi. Sikap Kessa akan dibuatnya sedingin salju Himalaya.

      “Ya…. Kau yang sekarang jadi pusat perhatian,” sahut guru itu kepada murid laki-laki yang jadi musuh besarnya, sebelum menutup mata pelajarannya.

      “Pedro nama murid laki-laki yang congkak itu,” ujar Ayana.

      “Bisakah kau tak membicarakan dirinya?” sahut Kessa pelan sedikt tak suka pada Ayana yang coba mengusiknya.

      Ayana hanya memandang Kessa heran. Seperti perhatian yang tak terduga dan jadi sia-sia. Bagaimana mungkin Kessa seorang yang pemberani bisa membiarkan begitu saja seorang penindas dengan leluasanya berbuat. Citra Kessa bisa terkikis karenanya.

Unlucky GiRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang