Kessa menurunkan Ayana di depan halaman rumah sahabatnya itu. Rumah dengan halaman yang asri, di penuhi bunga dari aneka jenis tanaman hias. Kessa tak tahu nama masing-masing dari tanamannya. Satu-satunya tanaman hias yang dia kenal dari bunganya adalah mawar, tapi bunga mawar itu agaknya tak ada di sana. Bunga mawar adalah tanaman yang sangat populer dan banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan, itu wajar bila dirinya juga cukup mengenal jenis tanaman yang satu itu.
Di depan pintu halaman, mereka kemudian saling melempar senyum dan saling memandang. Ayana merasakan satu kejanggalan pada sikap Kessa yang tersirat jelas di sana masih ada rasa trauma yang disangkahkan. Penilaian yang jelas berbeda dengan apa yang sebenarnya dirasakan. Sungguh jauh berbeda karena Kessa sebenarnya sedang terjebak dalam rasa penyesalan yang cukup mendalam hingga membuatnya merasa gelisah. Ayana tak cukup mengerti kalau Kessa masih memikirkan kejadian tadi siang di sekolah, di mana dirinya merasa tersiksa karena tak berbuat apa pun untuk menghentikannya. Tetapi lebih dari itu yang dirasakan dan jadi perdebatan yang begitu kuat dari dalam diri Kessa bahwa dirinya sebenarnya bisa berbuat sesuatu. Akhirnya Ayana manawarkan diri untuk dipeluk sahabatnya. Kessa masih memegang rahasianya yang dijaga untuk tetap tersembunyi termasuk pada sahabatnya.
Kessa akhirnya harus menerima ini sebagai ungkapan rasa penyesalan yang begitu besar pada sahabatnya atas tindakan diam saat berada dalam kelas yang dirinya tak berbuat apa-apa untuk membantu menghentikan tragedi di siang hari tadi. Kessa hanya bisa menyaksikan dari tempat duduknya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kejadian itu dengan rasa merasa bersalah yang sengaja disembunyikan dari siapa pun. Apa boleh buat Kessa terpaksa mengabaikan panggilan jiwa untuk berbuat sesuatu demi tekadnya untuk tak menggunakan kekuatan yang dimilikinya dalam keadaan apa pun. Kessa merasa saatnya merelakan apa yang dimiliki. Tak ingin berlalu begitu saja saat takdir menyodorkan pilihan lain. Apa pun itu Kessa tak mau terjebak terlalu dalam aturan yang menjeratnya begitu erat hingga rasa-rasanya sulit untuk berkutik. Mimpi atau apa pun yang berkaitan erat dengan panggilan jiwa, menurutnya adalah kebodohan besar jika itu dituruti. Keinginan Kessa sudah bulat, tak akan membuka diri untuk hal yang demikian. Kessa dan Ayana akhirnya saling berpelukan.
Tiba waktunya Kessa untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Setelah berpamitan dengan Ayana, Kessa lalu melarikan sepeda motor meninggalkan rumah sahabatnya. Tak ada yang cukup merepotkan, karena kini segalanya akan dilalui dengan tanpa beban yang berlebih.
Jalanan cukup lengang saat menjelang sore. Sepeda motor yang dikendarai Kessa melaju dengan kecepatan sedang. Menurutnya tak ada yang perlu untuk dikejar sampai harus menambahkan kecepatan laju kendaraannya. Tak perlu terburu-buru untuk sampai ke rumah juga, bila tak ada sesuatu yang menarik untuk segera mungkin ditemui selain tentu saja kedua orang tua dan adiknya.
Kessa hanya perlu sedikit bersabar saat hendak menembus sedikit kemacetan di perempatan jalan yang menuju ke rumah saat lampu marka masih menyala merah. Beberapa penjual cenderamata coba mencari keberuntungan dengan menawarkan beberapa barang dagangannya. Tak ada kebanggaan dengan cara mereka mengadu nasib, tak ada yang banyak dijanjikan dari proses yang demikian. Nasib tidak pernah menuntun ke arah yang salah. Apa boleh buat hanya itu cara bisa ditempuh di kerasnya hidup.
Tak berapa lama sebuah sepeda motor berhenti di samping Kessa. Pengendaranya seorang anak laki-laki berpakaian putih abu-abu berboncengan dengan seorang gadis yang memakai seragam sekolah yang sama. Dari perawakannya, Kessa bisa menangkap gambaran kalau laki-laki itu adalah Pedro. Ya, mereka sedang berada di atas motor berduaan.
"Apa kau lihat dunia ini rasanya sempit?" ujar laki-laki itu pada pacarnya.
"Ya...., harusnya untuk kita berdua saja", jawab pacarnya.Kessa tak menghiraukannya. Apa gunanya memperlihatkan lagi kemesraan muda-mudi itu pada Kessa yang jeles-jelas tak membuatnya terpancing pada situasi yang menurut mereka menguntungkan, padahal itu sesuatu yang sungguh menggelikan. Tak ada sikap bijak di sana. Satu penyakit yang tak sepatutnya diperlihatkan. Itu sangat tidak mendidik.
Kessa hanya berharap lampu marka segera berubah menyala hijau atau jika Tuhan sungguh baik hati mau memberinya sayap dalam sekejap yang membuatnya bisa terbang agar bisa segera meninggalkan akting menyebalkan mereka. Rasanya cukup lama menunggu lampu marka untuk berubah.
"Ah sial, mengapa aku harus peduli pada hal yang demikian? Seperti lainnya, aku harusnya lebih memikirkan diri sendiri karena sesuatu yang tak jelas membuat kita semua harus menyelematkan diri terlebih dulu. Tak ada yang perlu untuk dibanggakan dari kelakuan mereka,"bisik Kessa dalam hati.
Akhirnya lampu marka berubah menyala hijau, betapa lega hatinya saat rasa khawatir bahwa timer lampau kemungkinan rusak mulai muncul. Kessa kembali melanjutkan perjalanan. Secepat mungkin Kessa melarikan sepeda motornya meninggalkan peremoatan jalan itu. Kessa tak mau terjebak lebih lama lagi pada apa yang membuatnya merasa tak nyaman. Ada yang lebih diperhatikan dari sekedar menyimak terus keberadaan dua temannya..... Ya, mulai kapan dua orang murid itu dianggap temen.
Perjalanan menuju rumah semakin lama saja rasanya ketika suasana hati dalam ketidaksabaran. Jelas Kessa tak punya pilihan selain harus pulang ke rumah. Satu-satunya kesempatan untuk meluangkan waktu pergi ke tempat lain sudah tidak mungkin karena Ayana, sahabatnya sudah diantarkan pulang. Kessa tak biasa melakukan jalan-jalan sendirian ke tempat nongkrong, apalagi menyadari dua makhluk tak di inginkan itu masih berkeliaran di jalanan. Kessa tak mau melihat mereka untuk keduakalinya. Cukup sekali dan tak akan dibiarkan jika itu nanti akan menguasai. Kessa tak mau menyimpan kejadian itu dalam memory di otak besarnya.
Akhirnya lega juga menyadari Kessa sampai di rumah. Begitu memasuki halaman rumah, keadaan rumah sepi. Tak seperti biasanya, kali ini ibunya tidak terlihat menyambut kepulangan putrinya dengan penuh kehangatan. Mungkin ada kesibukan di dapur atau mungkin ada urusan yang mengharuskan mamanya meninggalkan ritual. Kessa segera memasukkan sepeda motor dan memakirnya dalam garasi rumah yang pintunya sudah terbuka. Dalam garasi itu terlihat mobil papanya yang terparkir. Tak seperti biasanya. Ini bukan suatu kebiasaan karena papanya biasanya pulang dari kantor menjelang senja.
Kessa kemudian hendak memasuki rumah lewat pintu depan. Pintu itu keadaannya tertutup namun tidak terkunci. Kessa hanya perlu memutar handle pintu seperempat lingkaran searah jarum jam. Begitu Kessa sudah masuk rumah, Kessa kemudian menutup pintu dan menguncinya dari dalam setelah melihat ruang tamunya kosong. Selanjutnya Kessa berjalan menuju ruang keluarga.
Tiba di ruang keluarga, Kessa disambut kedua orang tuanya dengan senyum yang dipaksakan. Jelas di sana ada sesuatu yang disembunyikan dan mereka harus menjelaskan alasan di balik semua itu pada Kessa, anak perempuannya. Kedua orang tua Kessa sedang duduk berhadapan di satu meja dalam suasana yang kurang beruntung, seperti habis melakukan perjalanan sangat panjang atau melakukan hal besar yang sia-sia hasilnya. Apa pun itu walaupun keadaan kedua orang tuanya masih tampak baik-baik saja, tapi jelas di sana ada sesuatu yang sedang mengganggu.
Kessa coba membalas senyum mereka dengan tatapan polosnya, mengharap sesuatu bisa mengubah keadaan ini sebelum, Kessa mendengar sendiri ujung dari penantiannya.
"Ini memang tak seperti yang dibayang. Sesuatu yang baru belum tentu tampak buruk," ucap ayahnya datar.
"Ayahmu mendapat pekerjaan di luar negeri...," sambung ibunya seraya menghela nafas sebelum meneruskan bicaranya. Ada sesuatu yang pahit yang harus diutarakan ke salah satu putrinya, "Saatnya kamu belajar mandiri, karena ibu juga harus ikut mendampingi ayahmu".
Kessa terdiam. Sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Ayah dan ibunya harus pergi ke luar negeri? Tentu saja bukan semudah itu yang dipikirkan. Bukankah dari kecil dirinya pernah ditinggal ayahnya? Masalahnya kali ini bukan oleh ayahnya, tapi ibunya juga akan meninggalkan dirinya dan ikut menyertai tinggal di luar negeri. Adik kecilnya juga tentu akan ikut juga karena tentu Kessa tak akan sanggup merawat sendiri adik kecilnya.
"Ayah tahu ini berat..., tapi ini sudah jadi keputusan yang tidak dapat dihindarkan. Untuk beberapa bulan kamu harus mencoba untuk hidup sendiri sebelum tiba saatnya kamu siap untuk ikut kami ke luar negeri," ujar ayahnya.
"Ibu akan mencarikan pembantu dan penjaga rumah untuk memenuhi kebutuhanmu, juga untuk menemanimu," sambung ibunya.
Kessa tak bisa membalas semua yang diutarakan oleh kedua orang tuanya. Kessa hanya bisa menghindar, melangkah pergi menuju kamar.
ooOoo
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlucky GiRL
Teen FictionKessa mencoba bertahan di kelamnya jalan. Dalam balutan kisah yang mengharu biru, semampunya berdamai, bertingkah gila menghadapi hari-harinya yang diliputi kesialan. Melalui prosesnya, Kessa terpaksa berjuang keras meredamkan kekuatan supernatural...