Sebuah Mitos

24 4 0
                                    

          Hari sudah sore ketika Kessa memutuskan untuk keluar rumah. Hari itu tidak ada kegiatan extra kurikuler atau kegiatan lain yang berkaitan dengan tugas sekolah dan biasanya memang di akhir pekan sekolah tidak memberi tugas kepada siswanya. Lega rasanya bisa menikmati sore tanpa terganggu oleh hal-hal yang memberatkan. Tentu saja keputusan kedua orang tuanya untuk tinggal di luar negeri juga sudah dibuang jauh-jauh demi alasan untuk kenyamanan. Sebenarnya menjauhi keputusan kedua orang tuanya menurutnya adalah hal yang konyol, tapi apa boleh itu yang kini membuat dirinya gelisah hingga jadi salah satu alasan utama dirinya untuk keluar rumah. Tak lupa Kessa menjemput Ayana, sahabat sejati yang selalu ada saat gundah melanda dan butuh seseorang untuk dilumpuhkan. Sore itu bersama sahabat dekatnya, Kessa memutuskan healing untuk sekedar mencari suasana lain. Barangkali jalan-jalan di salah satu mall yang cukup jauh dari rumahnya bisa membantu melupakan masalahnya.

          Tempat yang mereka tuju keadaannya sekarang tak begitu ramai. Menurut cerita orang-orang, keadaan itu sudah jauh berubah sejak krisis ekonomi melanda tanah ini. Krisis telah mengubah banyak wajah dunia usaha dan perilaku masyarakatnya. Ada yang telah hilang di sana. Kessa sendiri saat pertama kali mengunjungi mall itu beberapa tahun yang lalu. Saat itu Kessa masih berumur 12 tahun dan keadaan pada waktu itu memang sudah tak begitu ramai.

          Setelah cukup lelah berjalan menyelusuri koridor-koridor toko, Kessa dan Ayana kemudian masuk ke salah satu cafe. Di sana masing-masing memesan sepotong waffle crispy dan segelas capucino dingin kesukaannya. Mereka duduk saling berhadapan di salah satu meja di sudut ruangan. Sebuah notifikasi masuk ke handphone Ayana saat mereka baru saja duduk. Dengan rasa malas Ayana membuka dan membaca isi notifikasi tersebut. Isinya marupakan pesan singkat dari salah satu teman sekolah yang dikirim lewat pesan di sakah satu aplikasi media sosial. Raut muka Ayana mendadak sedikit terkejut saat membaca isi pesan tersebut.

          "Mereka kena batunya," ujar Ayana singkat dan sedikit lirih. Ayana lalu memandang Kessa seraya memperlihatkan pesan singkat yang ada di handphone. "Ini dari murid kelas lain yang menuliskan pesan Pedro telah mengalami kecelakaan."

          Sekarang giliran Kessa yang harus menunjukkan sikap empatinya. Terbayang sosok cowok yang sedikit membuatnya kesal. Sikap yang menurutnya kurang bersahabat bahkan cenderung menyebalkan. Terbukti beberapa kali belakangan menunjukkan sikap yang kurang ajar.

          "Ya," sahut Kessa dingin tanpa menoleh ke layar handphone yang disodorkan Ayana.

          "Apa?" ujar Ayana terkejut seolah tak percaya dengan sikap dingin Kessa. "Tunggu! Aku tidak mengerti dengan....?"

          Ayana mencoba baca arah yang tersembunyi di balik sikap tak acuh Kessa. Menurutnya Kessa seperti biasanya akan menahan diri untuk berkomentar yang baginya bukan suatu perkara yang tidak terlalu penting bahkan di sana tidak ada kebimbangan untuk tidak mengutarakan.

          Sadar bakal percuma untuk meyakinkan kalau ada yang salah dalam diri Kessa, Ayana membatalkan investigasi kecilnya.

          "Ya. Mungkin ini hanya sebuah kecerobohan...," ujar Ayana pada akhirnya.

          Sementara Kessa tiba-tiba teringat teringat apa yang pernah diucapkan seorang kakek pada dirinya semasa berumur sekitar dua belas tahun. Ucapan kakek itu selalu dia pikirkan karena terbukti kini menjadi suatu kenyataan. Kakek itu mengingatkan Kessa bahwa kemampuannya bisa membuat seseorang berbalik mengalami nasib yang buruk jika tak pandai menjaga sikap. Memang itu kedengarannya konyol, tapi itu yang kini terjadi. Kessa pun tak bisa menahan diri untuk tidak terpancing.

          Kessa lalu menghela napas panjang sebelum mulai sedikit membuka diri pada sahabat terbaiknya. Ya, menurutnya hanya sedikit dan tak salah bila mengutarakan pada satu-satunya sahabat dekat.

          "Aku memiliki hari di mana aku merasa itu adalah hari mulai merasa takut akan sesuatu," ucap Kessa lirih. Akhirnya Kessa mau mengutarakan sedikit alasan mengapa terkadang harus menghindar dari rasa empatinya. "Aku berharap ini tak akan selamanya dan belakangan aku sudah mulai ragu untuk meyakininya."

          "Aku akan mendengarnya?" Sahut Ayana penuh semangat atas rasa ingin tahunya akan suatu hal.

          Kessa terdiam, termenung sejenak memikirkan apa yang membebaninya selama beberapa tahun terakhir. Kessa tak punya jawaban pasti akan masalah tersebut. Sebuah karma memang tak bisa dibilang mudah untuk dihindarkan. Itu seperti seseorang berusaha menghalau mendung yang sangat gelap, tinggal menunggu titik-titik air yang tak lama akan segera turun. Semua usaha bakal sia-sia karena tak akan sanggup mengubah hukum alam. Bukan hal baru yang dikenal karena itu masalah percaya atau tidak. Kessa sendiri merasa sudah berusaha sedapat mungkin menjaga sikap agar perilaku dirinya tidak membuat orang lain jadi celaka. Menerima nasib buruk darl imbas atas segala perbuatannya dan jadi deretan kesialan tersendiri ketika itu terjadi pada teman atau orang-orang terdekatnya.

          Kessa menghela napas panjang. Tak yakin semua sepertinya akan berakhir tanpa perhitungan. Tak perlu untuk disesali karena hanya akan memperburuk keadaan.

          "Ini tidak seperti yang kuharapkan," keluh Kessa.

          Ayana sedikit terpana melihat sahabatnya yang terlihat kuat ternyata memendam cerita yang mungkin cukup mengerikan dan seru. Ini jauh dari sepengetahuan Ayana dan pengetahuan teman-teman lain di lingkungan sekolah. Maklum Kessa adalah pribadi yang cukup tertutup. Ada perlindungan diri yang dijaga benar saat bicara dan berceloteh yang tidak mungkin diperlihatkan pada sembarang orang layaknya gadis-gadis lain yang ingin diperhatikan.

          "Aku percaya kamu telah berbuat yang terbaik dan akan terus melakukan itu," hibur Ayana seraya memegang telapak tangan Kessa.

          "Sejujurnya aku tidak suka ini menjadi sebuah masalah yang serius," ucap Kessa.

          "Kau punya penjelasan yang lebih lanjut?"

          "Aku tak begitu yakin dengan cerita mistis dengan konsukwensi yang menyertainya. Apa pun itu bagiku tak lebih hanyalah sebuah dongeng untuk sekedar menghibur atau cerita untuk menumbuhkan peringatan kecil akan suatu hal."

          "Oh," Ayana sedikit terkejut. "Pastinya kau telah menjadi bagian dari itu?"

          "Berat rasanya menjadi seseorang yang berbeda?"

           Kessa pun akhirnya menceritakan sedikit tentang pertemuannya dengan seorang kakek itu.

          "Sebaiknya kau mencari arah yang bisa membuatmu jadi tak tersesat meski terkadang sebuah pembelajaran tidak membantu. Itu seperti salah satu dari sekian banyak pilihan menu yang terhidang. Jangan mempersulit keadaan yang seharusnya bisa diupayakan. Kita harus tetap mengusahakan suatu kemudahan."

          "Aku berharap tak serumit itu."

          "Terkadang hasil dari kerja keras tak sesuai harapan. Wajar dari sikap yang buruk akan menghasilkan sesuatu yabg buruk tapi akan jadi masalah ketika keadaan jadi terbalik, dari sikap yang baik akan mendapatkan respon yang buruk."

          Ayana lalu terkesiap. Ada yang harus segera disingkirkan. Ya kegundahan yang menyelimuti. Ayana yakin Kessa juga ikut merasakan apa yang dialami dirinya dan begitu banyak orang.

          "Sebaiknya kita temuin kakek itu.... Mungkin ada penjelasan berkaitan erat dengan apa yang menimpah kamu atau apapun itu yang mungkin bisa membantu menghilangkan kutukan itu."

          Kessa sedikit terkejut mendengar usulan sahabatnya. Terbesit kemungkinan ada jalan yang bisa ditempuh.

          "Yah kita juga belum tahu seberapa parah kecelakaan yang dialami Pedro. Sebaiknya kita cepat pergi karena kita hanya punya waktu sehari sebelum orang tuaku pergi ke luar negri," ujar Kessa seraya membuka sebuah aplikasi sosial media di handphone. Sejenak Kessa menatap Ayana sebelum melanjutkan memainkan aplikasi itu. "Kau juga harus ikut dalam misi ini.

          "Tentu saja," sahut Ayana seraya ikut membuka aplikasi serupa di handphone. Ayana ikut menulis sebuah pesan mengikuti apa yang sedang dilakukan Kessa. Mereka lalu mengirim pesan itu ke orang tua masing-masing. Kessa memutuskan untuk langsung bertindak cepat. Mereka lalu mengakhiri perbincangannya di cafe itu dan langsung pergi meninggalkan mall setelah mereka terlebih dulu meninggalkan pesan ke orang tua masing-masing tentang kepergiannya ke suatu tempat yang diyakini bakal membantu menyelesaikan masalah.

Unlucky GiRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang