Abiseka

17 2 2
                                    

Pukul 13.00, mata kuliah Fisika Lingkungan pun usai. Mereka segera berberes. Begitu pula dengan Azura dan Ayana. Hari ini mega tampak menghitam, sepertinya langit akan menangis lagi. Angin pun berhembus sangat kencang mempermainkan jilbab mereka. Kebetulan mereka berada di lantai tiga. Banyak di antara mereka terburu-buru untuk turun. Mungkin berlomba dengan alam. Takut kehujanan, sehingga mereka sebisa mungkin sudah sampai rumahnya sebelum hujan turun.

Azura terlihat gelisah. Dia takut kalau hujan keburu datang, sedangkan mereka masih berada di kampus.

“Ay, buruan. Tuh langit mendung banget. Nanti keburu turun hujan!” seru Azura usai berberes.

“Iya, Ra. Kau pulang aja duluan, kalau aku kan dekat kosnya."

"Tapi, Ay ….”

“Sudah, buruan pulang sana!” tukas Ayana memotong perkataan Azura.

“Nanti kita sambung lewat WA, ya! Besok aku jemput kau di kos!” seru Azura sambil bergegas turun. Langit semakin gelap. Guntur pun sesekali menggelegar dan kilat menyambar. Mungkin di tempat lain sudah turun hujannya.

Ayana berjalan menyusuri lorong kelas yang sudah sepi. Semua berpacu dengan mega yang berarak. Tak ada yang ingin terjebak hujan di kampus. Tak terkecuali Ayana. Dari lantai tiga, Ayana bisa menyaksikan pucuk pohon yang melambai-lambai tertiup angin. Dia pun menuruni tangga.

Sesampainya di teras, gerimis pun mulai jatuh membasahi bumi. Aroma petrikor menyeruak, menggelitik rongga hidungnya. Ayana menghirupnya dalam-dalam.

Angannya melayang ke masa silam. Kenangan bersama kakaknya berkelebat di benak Ayana. Senyumnya merekah, kerinduan itu pun hadir tanpa permisi. Matanya nanar menatap ke sekeliling, sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang masih bertahan di sekertariat HMJ. Namun, dia tak begitu kenal dengan mereka. Dirinya terlalu cuek dengan kegiatan kampus. Dia hanya fokus untuk belajar dan bekerja.

Ayana melihat ke pergelangan tangan, jarum jam menunjuk angka satu lewat sepuluh menit. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh lorong teras gedung D3. Sepi.

Ayana mencari payung lipat yang biasanya ada di dalam tas yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. Entah musih kemarau atau pun musim hujan. Payung itu selalu menemani langkahnya. Tak peduli apa yang orang lain omongkan tentang dirinya. Namun, yang dicari tak ketemu juga.

Dia memutuskan untuk menerabas gerimis. Dengan langkah tergesa, Ayana menyusuri jalanan menuju kosnya. Saat dia menyeberang,  tiba-tiba terdengar bunyi klakson memekakkan telinganya. Ayana terus berjalan di bawah rinai hujan. Sebuah mobil yang dari tadi membunyikan bel akhirnya menyalip dan berhenti tepat di depannya. Sontak membuat Ayana terkejut. Dia pun berhenti, menunggu mobil yang berada di depannya berjalan lagi. Seseorang muncul dari balik kaca mobil yang dibuka, pemuda dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Sesungging senyuman dia tujukan ke Ayana.

“Hai. Naiklah!” perintah pemuda itu sambil membuka kaca matanya.

“Abi?” Ayana mengernyitkan dahinya. Ingatannya terlempar sehari yang lalu.

Pemuda yang dipanggil Abi itu pun tersenyum kembali. Lalu membukakan pintu mobil, dan menyuruh Ayana untuk masuk. Namun, Ayana masih bergeming.

“Hai. Apa memang kebiasaanmu selalu bengong? Ayo cepatan masuk, lihat hujan makin deras!” serunya membuat Ayana tak bisa menolak. Benar apa yang dikatakan Abi. Hujan memang makin deras.

“Terimakasih, kosku sudah dekat kok!” jawab Ayana, dia masih enggan menerima tawaran Abi.

“Jangan keras kepala. Cepat naik! Apa perlu aku tarik tanganmu baru kau mau masuk? Dasar gadis aneh.” Abi bersiap akan turun. Ayana mau tak mau mengikuti ajakan Abi. Dia menolak ajakan cowok tersebut, akan tetapi kakinya malah naik ke dalam mobil. Sungguh bukan kerjasama yang bagus, antara kaki dan hatinya tidak sinkron. Mulutnya tiba-tiba terkunci.

Elegi Cinta AyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang