Abi menunggu Ayana yang telah melangkah ke dalam rumah. Angin senja mempermainkan anak rambutnya yang baru saja disisir dengan jemari. Telah beberapa hari Ayana melarangnya datang ke kampus, dengan alasan dia fokus tes. Sedangkan dirinya juga fokus menyelesaikan skripsinya. Dia masih ingat tantangan yang diberikan oleh Ayana saat itu.
“Bi, apa kamu tak ingin segera lulus kuliah, terus bekerja dan bisa hidup mandiri? Tidak selalu berada di bawah ketiak orang tuamu?” ujar Ayana waktu mereka sedang bertemu.
“Maksudmu?”
“Kau mau seperti ini terus? Menjadi mahasiswa abadi?”
Abi diam, apa yang dikatakan Ayana semua benar. Enam tahun dia berstatus sebagai mahasiswa. Kawan seangkatannya sudah banyak yang diwisuda, sedangkan dirinya masih saja asyik dengan dunianya. Pertanyaan Ayana seolah menampar keegoannya. Entah apa yang membuat semangatnya tumbuh kembali, hingga dosen pembimbingnya yang telah melupakannya ikut bersemangat untuk membantunya.
Sebenarnya Abi bukanlah mahasiswa bodoh, dilihat prestasinya waktu awal-awal kuliah sangat memuaskan. IPK-nya juga tak kalah dari teman-temannya. Namun, karena suatu hal di awal semester tujuh badai datang menerpa dirinya. Hingga membuat Abi seperti layangan yang putus.
Kuliahnya pun terbengkalai, dan dia hilang kendali. Hal itu tentunya membuat prestasinya terus menurun drastis. Hingga akhirnya dia bertemu dengan gadis mungil di sebuah kedai kopi saat gerimis melanda kota Semarang. Jiwanya yang kering, laksana mendapatkan setetes embun. Semangat itu kembali hadir seiring senyuman gadis itu. Kehadiran Ayana bagaikan rinai hujan dalam kemarau hatinya.
Saat mengingat masa itu, Abi merasa dirinya berdosa pada keluarganya. Menyia-nyiakan kepercayaan mereka. Padahal dialah yang digadang-gadang sebagai penerus dinasti keluarga sang nenek. Karena dialah satu-satunya cucu laki-laki.
***
Ayana masih terpekur di dalam kamar. Dia bingung, satu sisi dia merasa capek setelah mendaki gunung. Namun, satu sisi dia tak ingin mengecewakan Abi yang memintanya menemani merayakan keberhasilan sidang skripsinya. Dia masih tertegun di depan almari kaca yang ada di kamarnya. Saskia yang sedang mengetik menggunakan komputer Erika di kamarnya tertegun melihat Ayana yang tampak bingung.
“Kau kenapa, Ay? Dari tadi Kakak lihat kau bediri di depan kaca?” Saskia berhenti mengetik dan menoleh ke arah Ayana. “Oh, Kakak tahu. Pasti karena ada temen cowokmu di depan itu, ya? Eh, siapa namanya?” Saskia memberondong Ayana dengan pertanyaan.
“Abi, Kak.” Ayana memandang Saskia. “Kak, dia mau mengajak Ay keluar. Merayakan keberhasilannya tadi ujian skripsi. Tapi kak Erika belum pulang, aku ijin sama Kakak, boleh?” Ayana tak berani menatap mata lembut Saskia.
Saskia bangkit dari duduknya. Lalu berdiri di samping Ayana. Lalu dia menepuk lembut pundaknya.
“Ayana. Kakak tahu, kita semua sudah dewasa. Dicintai dan mencintai lawan jenis itu adalah hal yang lumrah. Cinta merupakan sebuah fitrah yang memang telah melekat kedalam benak manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Cinta merupakan sebuah anugerah namun juga bisa menjadi musibah jika kita tidak benar-benar memahami hakikatnya. Banyak manusia yang tersesat akibat cinta yang salah dan buta.” Saskia menatap mata adik kosnya itu lembut. “Kakak tak akan melarangmu pergi, Kakak juga tak melarangmu melabuhkan kepada siapa hatimu, Ay. Hanya satu pesan Kakak, jaga diri dan kehormatanmu. Jangan karena cinta engkau kehilangan kehormatan. Seorang wanita akan dipandang karena dia bisa menjaga dirinya.”
Ayana memeluk Saskia, hangat pelukannya membuat hatinya terbuka.
“Ay, bolehkah Kakak tanya sekali lagi?” Ayana pun mengangguk.
“Apakah kau menyukai cowok itu?”
Ayana terdiam, dia memang belum pernah mengutarakan kepada siapa akan menitipkan hatinya. Selama ini dia masih nyaman dengan hubungan tanpa status ini. Dia bisa jalan dengan Abi maupun Awan tanpa ada perasaan bersalah pada salah satu pihak. Namun, semenjak Awan mengatakan perasaannya saat di puncak gunung kemarin, hati Ayana menjadi gundah.
“Kenapa kau diam, Ay? Adakah sesuatu yang Kakak belum tahu?” Ayana kembali menatap mata bening Saskia. Dia pun mengangguk. Ditelannya saliva untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba kering.
“Iya, Kak. Entahlah. Kemarin Pak Awan menyatakan perasaannya pada Ay.” Ayana berkata jujur. Biasanya dia bercerita dengan Erika. Semenjak Erika sering pulang, Saskialah tempat curhatnya.
“Lalu, kau sudah menjawabnya belum?”
Ayana menggeleng. “Belum, Kak. Aku butuh waktu.”
“Kenapa? Karena di hatimu ada sosok lain, kan? Abi telah mengisi hatimu?”
Ayana menggeleng. “Entahlah, Kak. Ayana juga tak tahu. Selama ini, Abi dan Ayana hanya pura-pura pacaran. Karena Abi tak mau dijodohkan dengan gadis pilihan neneknya. Makanya Ayana membantunya. Itu saja yang terjadi, Kak.”
Saskia tersenyum melihat kepolosan gadis di depannya ini. Lalu dia menepuk lembut punggung Ayana.
“Ayana … Ayana. Kau telah terseret dalam permainanmu sendiri. Sekarang kau masuk terlalu dalam. Sehingga kau bingung menentukan ke mana arah angin berhembus.” Saskia sejenak terdiam. “Mintalah petunjuk pada Allah, karena hanya Dia yang akan dapat menerangi hatimu. Kakak hanya berdoa, semoga kau tak salah pilih!”
Ayana mengangguk. “Aku boleh pergi, Kak?” tanya Ayana lagi.
“Pergilah! Jaga dirimu baik-baik!” Saskia menutup komputer dan berjalan ke luar kamar. Memberikan ruang untuk Ayana berganti baju.
***
Abi yang menunggu di teras dan berulangkali melongok ke arah pintu. Sesekali diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Tuh anak kok gak keluar-keluar, sih. Jangan-jangan malah ketiduran.” Abi gusar karena menunggu terlalu lama. Diambilnya benda pipih dari sakunya. Dia memejamkan matanya, sambil menghela napas kasar.
‘Ay … angkat dong teleponnya!’ gumamnya dalam hati. Saat HP-nya masih disamping telinganya, terdengar derit pintu terbuka. Muncullah Ayana dengan wajah tampak lebih segar. Wangi sabun pun menguar dari tubuh Ayana. Dia memakai celana jin warna biru dongker, kaos biru muda dengan jilbab pink. Abi pun terpana melihat gadis itu. Cantik nan alami. Polesan bedak yang tipis dipadu lipstick warna baby pink yang lembut. Terkesan sangat natural.
“Kamu tidur, ya? Atau lupa ada cowok kece sendirian di sini, hah! Gak tau yang nunggu di luar sampai kering, yang ditunggu kagak nongol-nongol. Kasih minum aja kagak. Parah. Dasar gadis aneh!” cerocos Abi tak memberikan waktu untuk Ayana membuka mulut.
“Mana baju gantimu?” tanya Abi saat melihat Ayana hanya membawa tas punggung kecil.
Ayana mengernyitkan dahinya. “Emangnya kita mau ke mana?” tanya Ayana mendelik ke arah Abi.
“Rahasia!” Ayana mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban singkat Abi.
“Curang!” seru Ayana sambil membalikkan badannya. Dia pun bergegas membuka pintu kembali. Namun, tangannya ditahan oleh Abi. Dia pun menoleh ke arah Abi. Sejenak mata mereka bersitatap.
“Kau mau ke mana?”
“Katanya suruh ambil baju ganti. Yang aneh itu aku atau kamu sih, Bi?” terlihat deretan gigi putih milik Abi saat dia tertawa. Lalu dia melepaskan pegangan tangannya, Ayana langsung menghilang di balik pintu.
Abi tersenyum setiap melihat gadis itu, tingkahnya membuat dirinya gemas. Tak lama, Ayana sudah menutup pintu. Mereka bergegas menuju sepeda motor yang terparkir di halaman. Abi memasangkan helm di kepala Ayana. Saat mata Ayana melirik ke pintu gerbang, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti. Tampak sepasang kaki jenjang mulai turun dari mobil dan menutup pintunya perlahan. Sesungging senyuman terlihat jelas terukir di bibirnya saat mereka beradu pandang. Ayana membalas senyuman itu dengan hati tak karuan.
Jantungnya berdetak lebih kencang saat mengetahui siapa yang datang. Dia menelan ludah, lalu menghirup udara sepuasnya untuk mengisi rongga dadanya yang sesak dengan tiba-tiba.
‘Duh, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bisa-bisa jadi perang dunia ketiga. Ya Allah. Bantu hamba!’ bisik Ayana lirih. Dia harus mengalihkan Abi dari pandangan ke pintu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Cinta Ayana
Novela JuvenilAyana sejak kecil belum pernah melihat ayahnya. Karena orangtuanya bercerai sebelum mengetahui kalau ibunya mengandung dirinya. Pertemuannya yang tak sengaja dengan pemuda bernama Abiseka membuat banyak perubahan pada dirinya. Cerita cintanya tak s...