Setelah beristirahat sejenak di puncak pertama, mereka kembali melanjutkan pendakian menuju puncak tertinggi Gunung Ungaran. Dia menjauh dari Rizal, tak ingin dia mendekatinya lagi. Cukup baginya, Azura untuk bersama lelaki itu. Sungguh, Ayana tak pernah berpikir sedikit pun untuk menyakiti hati sahabatnya. Dia tak ingin ada hati yang terluka karena dirinya. Baginya lebih baik mempertahankan persahabatan dari pada membina cinta di atas perpecahan.
Perjalanan dilanjutkan dengan trek yang menanjak dengan tanah yang padat berbatu. Terlihat batu-batuan yang menonjol di kanan kiri jalan. Peluh membasahi tubuh, dini hari telah menjelang. Sebelum subuh, sampailah mereka di puncak tertinggi Gunung Ungaran. Ada tiga buah tugu dan papan nama sekaligus bendera merah putih berdiri gagah.
Semakin ke atas, angin yang berembus semakin kencang. Rasa suka cita pun menggema di hati mereka, terutama yang belum pernah melakukan pendakian. Seolah tak percaya dengan apa yang telah mereka capai. Berdiri di sebuah puncak gunung. Ada yang menangis haru, ada yang berteriak-teriak, dan ada pula yang langsung sujud syukur.
Puncak ini memang tak terlalu luas, mereka membentangkan tikarnya di tempat yang kosong. Sambil menunggu waktu subuh, mereka duduk dan bercengkerama dengan kelompoknya.
Awan mendekati Ayana yang tengah duduk memandang langit yang menampakkan siluet jingga di ufuk timur. Hatinya kembali tak nyaman saat tahu dosen muda itu telah duduk di sampingnya. Rasa malu karena telah menggandengnya selama di Gua Jepang belum terkikis dari ingatannya.
Ayana diam, tapi desah napasnya terdengar lirih. Awan mengeluarkan botol minuman dan meneguknya perlahan. Air yang ada di dalam botol laksana air yang keluar dari kulkas, dingin. Rasa segar menyelusuri kerongkongannya. Setelah itu dia mengambil botol air lainya dari tasnya, lalu memberikan kepada Ayana. Dengan sigap dia menerimanya, memang persedian meinumnya nyaris habis. Awan memperhatikan saat Ayana minum. Karena diperhatikan seperti itu, membuatnya tersedak. Spontan Awan menepuk tengkuk Ayana lembut.
“Maaf!” ucapnya singkat. Ayana hanya membalas dengan senyuman.Mereka menunggu sunrise di puncak Gunung Ungaran. Sungguh suasana yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, bisa melihat matahari terbit dari ufuk timur yang bersinar keemasan.
Ayana dan Awan duduk menghadap ke timur, lembutnya angin mempermainkan jilbabnya. Tampak wajah Ayana berbinar menyaksikan kehadiran sang surya. Segera diambilnya ponsel dan mengabadikan keindahan alam di puncak tertinggi gunung ini.
Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Awan mendesah, mencoba mengumpulkan segala kekuatannya. Dia harus mengatakan isi hatinya, mumpung momentnya sangat mendukung.
Awan bangkit dan mengajak Ayana menuju tebing di sebelah timur. Setelah puas memotret diri dan alam, mereka mencari tempat untuk kembali duduk.
Ayana memandang sepuasnya ke sebelah utara. Sejenak dia tertegun saat menikmati kilauan siluet dari pantulan cahaya yang terpantul dari permukaan Laut Jawa. Setelah puas menatap ke utara, dia alihkan pandangannya ke sebelah selatan. Terlihat barisan gunung yang tampak gagah menjulang, ada Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Perahu.
“Bagaimana, Ay. Kau suka?” tanya Awan berbasa-basi.
Ayana mengangguk, matanya mengerjap menatap alam. Indah.
“Ayana…!” Awan menelan ludahnya. Rasanya sangat susah bicara jika dia ingin mengatakan isi hatinya. Ayana menoleh, memandang dosen muda yang duduk di sampingnya. Lalu pandangannya menuju ke arah teman-temannya yang sudah berpencar dengan pasangannya masing-masing.
Ayana melihat pergelangan tangannya, dia langsung membuka aplikasi WhatsApp, takut kehilangan momentum mentari terbit. Dia pamit pada Awan.
“Maaf, Pak. Saya permisi sebentar, ya!” katanya sambil mencari sinyal. Memang di puncak gunung, sinyal telepon terkadang menghilang. Makanya dia berjalan sambil mencari sinyal. Awan sebenarnya tak rela saat Ayana berlalu dari sisinya. Namun, dia tak dapat berbuat apa-apa. Dipandangnya Ayana yang membelakanginya.
“Ayo, angkat teleponnya!” Ayana memandang ke sekeliling. Kembali dia mendengkus kasar, kesal dengan bunyi telepon yang tak segera tersambung.
Merasa usahanya sia-sia, akhirnya dia merekam matahari terbit dengan ponselnya. Lalu menulis pesan dan mengirimnya. Dia kembali ke tempat di mana dosen muda itu berada. Tampak dia telah dikelilingi gadis-gadis yang mengaguminya. Berfotoria dengannya. Ayana mengalihkan pandangannya saat tak sengaja mata mereka bersitatap.
Dia lalu duduk. Matanya memandang ke sekeliling, mencoba mencari keberadaan Azura. Saat dia melihat Azura bersama Rizal, hatinya berteriak senang. Semoga Rizal bisa menjaga Azura dengan baik. Dia tak ingin Rizal menyakiti hati sahabatnya.
Entah berapa banyak dia mengabadikan sang arunika yang bersinar keemasan membelah nabastala. Hingga tak sadar jika Awan telah duduk di sampingnya.
“Eh, Pak Awan. Kok sudah duduk di sini? Gak menemani mereka? Dah selesai swafotonya?” ucap Ayana mencebik.
Awan senang saat melihat nada tak suka dari gaya bicara Ayana, dia pun tersenyum.
“Kenapa? Kau juga boleh kok. Sini!” Awan lalu mengarahkan ponselnya dan memegang pundak Ayana dengan cepat. Ayana tak sempat mengelak. Beberapa jepretan pun telah singgah pada galeri ponsel milik sang dosen. Dia lalu memperlihatkan hasil foto mereka, sangat bagus. Mungkin karena resolusi kameranya yang tinggi sehingga hasilnya pun keren banget.
“Bagus, kan?” tanya Awan. Ayana hanya mengangguk. Dia membuka ponselnya. Dilihatnya pesan yang tadi dikirim lewat aplikasi WhatsAppnya masih belum berubah biru. Berarti belum dibukanya. Dia lalu menutupnya. Awan memperhatikan setiap gerik Ayana yang kelihatan resah sejak tadi.
“Kenapa, Ay. Kok tampak gelisah sekali aku perhatikan dari tadi?”
Ayana menggeleng. “En-enggak apa-apa kok, Pak!” jawabnya berbohong.
“Ay. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Awan terdiam sejenak, gadis di sampingnya menunduk, mempermainkan bunga rumput yang ada di depannya. “Sudah lama aku memperhatikan kamu. Jauh sebelum kamu mengenal aku. Yah, ada rasa suka dan ingin memiliki dalam hati ini.” Dia diam, ingin mendengar reaksi Ayana setelah mendengar kejujuran hatinya.
Ayana tersontak, bibirnya terkunci, matanya menatap lekat ke arah mata sang dosen yang kini menunggu kata-kata keluar dari bibirnya. Ayana tak menyangka jika dosen itu akan menembaknya di tempat ini. Kembali bayangan Abi hadir dalam pelupuk matanya. Dia jujur dalam hatinya, entah mengapa merasa nyaman dengan sang dosen, seolah menemukan seorang kakak yang dapat mendengarkan segala keluh kesahnya, benarkah ada cinta dalam hati dosen itu. Namun, kenapa bayangan Abi selalu muncul saat mereka berdekatan.
Tak dipungkirinya, dia pernah membayangkan bisa dekat sang dosen tampan itu. Mungkin karena ikut-ikutan tren para mahasiswa yang mengidolakan dosen muda itu. Dia juga pernah curi-curi pandang ke arah dosen itu, dulu. Tapi karena kesibukannya untuk mencari pekerjaan untuk menutup segala kebutuhannya, rasa yang pernah dipendamnya terkubur dengan sendirinya. Perlahan-lahan hilang terkikis oleh waktu dan perasaan minder karena latar belakang dirinya.
Tapi setelah kedekatan ini, dan sang dosen mengatakan isi hatinya, kenapa dia merasa bimbang. Harusnya dia berteriak dan mengangguk. Menerima dosen ini dengan senang hati. Bukannya dulu dia sangat menginginkan perhatian dosen ini.
“Jika kau belum bisa menjawabnya sekarang, aku akan siap menunggu jawabanmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Cinta Ayana
Dla nastolatkówAyana sejak kecil belum pernah melihat ayahnya. Karena orangtuanya bercerai sebelum mengetahui kalau ibunya mengandung dirinya. Pertemuannya yang tak sengaja dengan pemuda bernama Abiseka membuat banyak perubahan pada dirinya. Cerita cintanya tak s...