Turun Gunung

4 2 0
                                    

Mentari sudah menampakkan wajahnya di batas cakrawala. Yang awalnya hanya seperempat bagian hingga perlahan tampak keseluruhan. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan yang sangat indah itu. Terutama mereka yang belum pernah melihat langsung terbitnya sang surya dari ketinggian.

Ayana masih diam, belum bisa membuka mulutnya. Awan melihat keraguan di mata Ayana. Mungkin bagi Ayana itu terlalu tiba-tiba, tetapi bagi Awan, dia telah memendamnya sekian lama. Untuk mengungkapkan perasaannya membutuhkan waktu dan keberanian. ‘Mungkinkan  dia sudah ada seseorang dalam hatinya? Ataukah karena aku dosennya sehingga dia sungkan padaku?’ tanya Awan pada dirinya sendiri.

Terdengar suara Rizal yang lantang, memberi intruksi agar rombongan segera turun lewat jalur selatan. Satu persatu rombongan pun beriringan menuruni puncak. Rizal dan Azura berjalan paling depan sebagai penunjuk arah. Ayana masih duduk, dan belum berajak. Ucapan Awan masih terngiang di telinganya. Dirinya tak percaya, seorang Awan Pramudya, dosen muda yang banyak diincar oleh mahasiswanya jatuh hati pada Ayana Zahira. Seorang mahasiswi yang tidak terkenal dan bukan siapa-siapa.

“Ay, kau mau tinggal di sini?” tanya Awan setelah rombongan mereka tinggal beberapa orang saja. Ayana tersentak. Dia dari tadi tak mendengarkan apa yang disampaikan oleh Rizal. Matanya memandang ke sekeliling.

“Lho, mereka pada ke mana, Pak?” tanya Ayana bingung. Awan pun tertawa melihat Ayana yang tampak panik. Karena hanya tinggal orang yang tak dikenalnya.

“Kamu sih, melamun terus. Kenapa?kamu bingung? Aku akan sabar menunggu jawabanmu. Ayo kita segera turun! Jangan sampai ketinggalan mereka.” Awan mengulurkan tangannya, membantu Ayana untuk bangkit dari duduknya. Untunglah masih ada satu mahasiswa lagi yang memang bertugas sebagai sampu ranjau, sehingga dia berada dibagian paling belakang setelah Ayana dan Awan.

Sepanjang jalan, Ayana masih saja terdiam. Hal itu membuat Awan merasa tak nyaman.

“Ayana. Kenapa kau diam saja?”

“Gak apa-apa, Pak. Saya ingin saja!” jawab Ayana singkat.

“Apa karena kejujuranku mengutarakan isi hati membuatmu diam?”

Ayana berhenti sejenak. Lalu menatap dosen yang mempunyai lesung pipi itu. “Maaf, Pak. Saya butuh waktu untuk memikirkannya.”

Awan menghela napas. Dia tahu akan mendapat jawaban seperti itu. Namun, hatinya senang, paling tidak masih ada harapan diterima, dari pada langsung ditolaknya mentah-mentah.

Rombongan pun menuruni Gunung Ungaran melewati jalur Candi Gedong Songo. Mereka melintasi kawasan hutan yang cukup lebat serta jalanan yang agak licin. Mereka harus berhati-hati saat turun, karena jika lengah, bisa tergelincir masuk ke jurang yang ada di sekitar jalan setapak tersebut.

Jalur yang panjang dan terkadang  menuruni tanjakan-tanjakan yang terjal membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Mentari pagi menerobos ke sela-sela dedaunan. Pemandangan kota bawah terilhat sangat indah. Mereka dapat menikmati suasana hutan yang cukup lebat dengan dihiasi tebing-tebing yang curam.

Setelah berjalan cukup lama, mereka pun sampailah di jalur yang terdapat padang rumput. Mereka sejenak beristirahat melepas lelah. Perjalanan dari puncak hingga ke padang rumput itu sekitar tiga jam. Hingga akhirnya mereka tibalah di salah satu candi yang terletak di kawasan Candi Gedong Songo. Mereka beristirahat di sana, sambil menunggu jembutan bus yang akan membawa mereka pulang ke kampus.

Tampak wajah-wajah lelah dari para peserta itu. Mereka pun beristirahat, ada yang sekedar duduk, ada pula yang berendam di pemandian air panas, dan ada pula yang tiduran beralaskan rumput yang  tumbuh disekitar tempat itu.

Ayana memilih duduk di dekat salah satu candi, menyelonjorkan kakinya. Dia langsung membuka ponselnya. Banyak sekali panggilan tak terjawab yang masuk ke ponselnya. Mungkin saat itu memang dia tak mendengar, karena fokus pada jalanan yang menurun.

Dia lalu melihat ada beberapa foto yang dikirim oleh Abi. Gambar Abi sebelum masuk ke ruangan sidang. Ayana tertegun melihat penampilan Abi yang jauh dari biasanya. Dia memakai hem warna biru muda dengan stelan jas hitam dan celana hitam. Ikat leher warna biru tua motif kotak, kelihatan seperti eksekutif muda. Dia tampil sangat rapi. Ayana sampai terpana melihatnya.

Dia tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Sontak membuatnya kaget. Segera ditutupnya ponselnya itu. Ternyata Azura yang mengegetkannya sambil menggodanya.

“Hayo, senyum-senyum sendiri. Ada apa nih?” Azura langsung duduk di sampingnya. Kelihatannya dia sudah mandi, aroma sabun menguar harum dari tubuhnya. Wajahnya pun  kelihatan berseri-seri. Ayana ganti menatap sahabatnya itu, dan menggodanya.

“Cie … cie, yang selalu nempel kaya prangko, gimana hasilnya. Dah jadian?” Tampak pipi Azura bersemu merah dan dia tersenyum malu. Kepalanya mengangguk, lalu dia memeluk Ayana erat. Ayana ikut senang karena Rizal mengikuti sarannya untuk menerima Azura. Ayana pun membalas pelukan sahabatnya itu.

Setelah semua rombongan kelihatan segar karena telah mandi, mereka berkumpul di tanah lapang. Panitia memberikan kesempatan bagi para peserta untuk menikmati pemandangan alam di Candi Gedongsongo. Bus yang akan membawanya pulang sudah tiba. Semua bawaan mereka masukkan ke dalam  bagasi. Setelah itu barulah mereka berkeliling obyek.

Ayana karena masih terlalu  capek, dia hanya mengunjungi candi kedua saja setelah itu dia duduk-duduk sambil menikmati pemandangan alam di sekitarnya. Awan menemani gadis itu meski mereka tak banyak bicara.

“Ayana?” terdengar seseorang memanggil nama Ayana. Sontak Ayana pun menoleh. Dia langsung bangkit dan mendesah panjang. Tak menyangka jika dia akan  bertemu dengan orang itu di sini, saat dirinya bersama Awan. Tampak rona tak suka dari wajah orang di depannya saat melihat Ayana.

Elegi Cinta AyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang