Angin berembus kencang mempermainkan dedaunan laksana tangan penari yang lemah gemulai di atas panggung. Ditemani gerimis di senja hari, terlihat seorang gadis yang duduk sendiri di sebuah kedai kopi. Sesekali diaduknya cangkir yang hampir tandas isinya, sambil melirik ke arah pintu masuk. Tampak sekali dari raut wajahnya gurat kegelisahan. Terdengar embusan napas yang berat, seolah menanggung suatu hal yang membuat dirinya resah.
Gadis itu mengambil benda pipih yang terletak di dekat cangkir kopi, lalu mengetik sesuatu. Matanya nanar menatap ke luar jendela yang masih menyisakan gerimis. Kemudian memejamkan mata, untuk mengusir gelisahnya.
Dia duduk di kedai sudah satu jam lebih, dilihat dari gerak-geriknya, dia seperti sedang menunggu seseorang. Namun, yang ditunggu belum menampakkan batang hidungnya. Chat yang dikirimkan juga belum ada balasan.
Terdengar sayup-sayup gema suara azan dari musala seberang jalan. Gadis itu terdiam, kedua tangannya masih bertaut di atas meja. Kepalanya menunduk, seolah meresapi arti ajakan salat dari sang muazin. Setelah suara azan berhenti, dia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah musala kedai. Sebenarnya dia ingin menyeberang menuju musala yang ada di depan sana. Namun, diurungkannya niat itu karena hujan masih mengguyur kota ini.
Seorang pramusaji kafe melempar senyum saat bertatap mata dengannya. Gadis itu pun tersenyum ramah dan hilang di balik tembok yang menyekat antara ruang penyajian dan musala.
Lama dia diam dalam ruangan itu, hingga seseorang menepuk pundaknya. Dia pun menoleh ke arah orang yang menepuknya.
“Kak, boleh pinjam mukenanya?” tanya gadis yang duduk di sampingnya.
Gadis itu pun melepas mukena yang masih ia pakai. Mengulurkannya pada gadis itu. Dia pun bergegas keluar musala dan kembali ke mejanya semula.
Dia masih setia duduk sambil memandang lampu yang telah menyala menerangi pekatnya malam.
“Ya Allah, kenapa hujan tak reda-reda, malahan semakin deras. Ah ...,” desahnya sambil mengusap wajahnya kasar.
Seorang pemuda mendatangi dan menyapanya ramah.
“Maaf, kalau saya mengganggu. Boleh saya duduk di sini?” tanya pemuda yang sudah berdiri di depannya. Mau tak mau gadis itu pun mendongakkan kepala. Lalu tersenyum kepadanya sambil mengangguk.
“Silakan. Tak ada hak saya melarang Anda untuk duduk di sini.” Gadis itu menunduk lagi, mempermainkan sendok di dalam cangkir yang hampir kosong.
“Kopinya mau habis. Mau tambah, biar saya yang pesan!” Tanpa menunggu gadis itu menjawab, pemuda itu telah memanggil pelayan kedai.
“Mbak, pesan lagi kopi yang sama dengan Mbak ini dua, ya!” teriak pemuda itu sambil menunjuk cangkir sang gadis. Pelayan pun mengangguk dan segera meninggalkan mereka berdua.
Gadis itu menatap pemuda yang duduk di depannya.
“Kenapa kau tak menunggu aku menjawab baru kau pesankan. Itu namanya diktator. Ya kalau aku mau, kalau tidak, terus siapa yang akan meminumnya?” ucap gadis itu agak sewot. Pemuda yang ada di depannya pun tertawa.
“Oh, ya. Kenalkan, namaku Abi … Abiseka Shakeil.” Pemuda itu berdiri dan mengulurkan tangannya. Gadis itu hanya menatap pemuda yang ada di depannya, sejenak mata mereka bertemu. Selang beberapa detik kemudian gadis itu menangkupkan kedua tangannya di dadanya.
“Ayana!” jawabnya datar.
Abi tersenyum sambil menarik tangannya yang menggantung di udara.
“Aku suka … aku suka. Seorang gadis memang harusnya seperti itu. Yang menjaga dirinya dari sentuhan lain jenis. Andai saja dia …,” Abi menelan ludahnya dan memejamkan mata. Lalu mengusap wajahnya kasar.
Seorang pelayan datang, meletakkan dua cangkir kopi dan memberikan kepada mereka.
“Silakan, Kak!” ucap pelayan itu mempersilakan mereka untuk mengincipinya. Mereka serentak menjawab, “Terimakasih!” keduanya pun tertawa setelah mengucapkan berbarengan, pelayan itu pun tersenyum dan meninggalkan meja mereka.
“Aku perhatikan dari tadi kau tampak gelisah, lagi nunggu kekasih, ya?” tanya Abi sambil menyeruput kopi yang masih hangat dan mengepulkan asap.
Ayana mengangguk, “Ya!” jawabnya pendek sambil matanya fokus melihat ke arah pintu masuk. 'Tapi bukan kekasih,' ucapnya dalam hati.
Abi manggut-manggut. “Minumlah kopimu, jangan kau aduk terus, nanti cita rasanya berubah, lho!”
Ayana meraih cangkir dengan kedua tangan, kehangatan menjalar dari telapak tangan ke tubuhnya. Mengalir lewat peredaran darah. Dia lalu menghirup aroma kopi yang ia sukai. Menyesapnya sambil memejamkan mata, menikmati sensasi saat aroma wangi kopi bermain-main di indera penciumanya.
“Ehemmm. Kau sangat menikmatinya, ya. Sampai-sampai mengacuhkan si tampan yang ada di depanmu!”
Ayana membuka matanya, “Maaf. Aku suka aromanya.”
“Kita sama, dong!”
“Oh, ya?”
“Ngomong-ngomong, apa kau tak ingin pulang. Bisa jadi orang yang kau tunggu tak akan datang. Lihat sudah berapa jam kau duduk di sini?” Abi melihat ke arah jam di tangannya.
“Kau …?”
“Hehehe …, maaf. Aku akui, sedari tadi aku memperhatikanmu. Sejak kau datang, aku sudah ada di sini. Hanya kasihan saja, gadis secantik kamu duduk sendirian berjam-jam.”
“Apa kau terganggu. Kalau kau tak suka, tak ada yang melarangmu untuk tetap stay di sini kok. Kau boleh pergi. Aku akan tetap menunggunya di sini!” jawabnya sewot.
“Wow ... wow. Tak elok lho, gadis secantik kamu marah, nanti hilang cantiknya!”
Ayana bangkit. Namun, tangan Abi lebih cepat memegang tangan Ayana hingga gadis itu menghempaskannya.
“Jangan pegang-pegang!” bentaknya.
“Maaf, duduklah. Aku tak akan mengganggumu. Aku hanya tak ingin ada pemuda yang kurang ajar akan mengganggumu. Itu saja. Lihat ke pojok sana!” Abi menggerakkan kepalanya memberi isyarat pada Ayana untuk melihat ke sudut ruangan yang agak remang-remang. Mau tak mau Ayana mengikuti melihat dengan ekor matanya. Dia pun duduk kembali setelah bergidik ngeri.
Ada lima pemuda dengan dandanan seperti anak punk yang sedang tertawa-tawa. Dari tingkahnya memang sangat menakutkan. Tak sengaja ada salah satu yang melihatnya, lalu melambaikan tangan ke arahnya. Ayana langsung mengalihkan pandangannya.
“Bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Masih ingin sendiri atau pulang, aku antarin!”
“Aku akan menunggu lima menit lagi, jika dia tidak juga datang, baru aku akan pulang.”
Lima menit pun berlalu, Ayana bangkit dan diikuti oleh Abi. Dia berhenti melangkah.
“Kenapa kau ikuti aku?”
“Siapa yang mengikutimu?”
“Kamu!”
“Aku juga mau pulang. Emang kau saja yang akan pulang. Atau kau mau bareng sekalian?”
“Gak usah, terimakasih!”
“Hujan, lho!
“Biarin!”
“Ya sudah kalau tidak mau, lihat … mereka ke sini!” Abi berlari menuju tempat di mana mobilnya berada.
Kelima pemuda itu semakin dekat, hati Ayana jadi ketar-ketir sendiri. Mereka menggodanya, tanpa pikir panjang, Ayana pun berlari menyusul Abi yang sudah masuk ke dalam mobilnya. Ayana pun menggedor pintu mobil Abi.
Abi menurunkan kaca jendelanya, “Kenapa?” tanyanya sambil meledek Ayana.
“Tolong bukain pintunya, aku ikut!”
“Kamu gak takut kalau aku culik?” Abi masih meledeknya, tapi tangannya membuka pintu mobil. Ayana pun melompat naik dan mengibaskan jilbabnya yang basah.
“Gak lucu!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Cinta Ayana
Novela JuvenilAyana sejak kecil belum pernah melihat ayahnya. Karena orangtuanya bercerai sebelum mengetahui kalau ibunya mengandung dirinya. Pertemuannya yang tak sengaja dengan pemuda bernama Abiseka membuat banyak perubahan pada dirinya. Cerita cintanya tak s...