Awan tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Bayangan Ayana melintas di pelupuk matanya. Dia bangkit, menyisisir rambut dengan kasar, bergegas menuju kamar Azura yang berada tepat di depan kamarnya. Perlahan dia mengetuk pintu. Terdengar suara Azura menyuruhnya masuk.
Azura sedang asyik mengerjakan tugas. Awan langsung duduk di depannya. Azura mendongak, menatapnya sambil mengernyitkan dahi.
“Kakak kenapa? Kusut amat? Tak bisa tidur, ya? Kepikiran Ayana terus?” goda Azura tertawa. Dia sekarang berani meledek sang kakak. Kalau kemarin dia hanya menduga-duga saja, sehingga tidak berani menggoda. Sekarang setelah semua jelas, Azura tak segan untuk menggoda Awan.
“Sekarang kamu berani meledek Kakak, ya!” Awan menjewer telinga Azura saking gemesnya pada sang adik. Lalu tangannya mengacak rambut Azura.
“Zura. Kakak tak bisa tidur, nih.” Awan kemudian menuju tempat tidur, merebahkan tubuhnya. Dia pun tengkurap dengan kedua tangan menopang kepalanya. Matanya menatap sang adik yang tampak cuek. Azura masih sibuk menyalin di buku tugasnya. Merasa diabaikan, Awan melempar bantal ke arah Azura. Azura pun mendelik, lalu bangkit dan melempar balik bantal yang sempat ia tangkap.
“Sini!” Awan menarik tangan adiknya untuk duduk di sampingya.
“Katanya, Zura telah bolak-balik jatuh cinta. Emang kalau orang jatuh cinta itu bagaimana, sih? Awas, tak boleh tertawa!” Awan mengancam Azura sebelum gadis itu meledeknya kembali.
Mau tak mau, Azura hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang kakak. Layaknya seorang psikolog ternama, Azura pun menceritakan tentang apa yang pernah dirasakannya saat jatuh cinta.
“Orang yang jatuh cinta, bawaannya selalu gelisah dan ingin berjumpa dengan sang pujaan hati. Jika malam ingin segera menjadi siang agar bisa segera bertemu dengannya. Mau makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Bawaannya uring-urigan dan serba salah. Jika bertemu dengannya menjadi salah tingkah. Apa yang ingin diutarakannya tiba-tiba menguap, hilang begitu saja.” Azura menatap kakaknya. “Apa Kakak juga merasakan hal itu pada Ayana?” Dia diam lagi. Awan sedang berpikir hingga kedua alisnya tertaut. “Kalau aku perhatikan selama ini, Kakak selalu salah tingkah jika bertemu Ayana. Cuman waktu itu Zura hanya menduga-duga saja,” ujarnya.
Awan mencoba bertanya pada hatinya. Seperti apa yang dikatakan Azura, semua benar. Selama ini dia selalu gelisah karena memikirkan Ayana. Pikiran menjadi tidak bisa berkonstrasi. Dia ingin selalu bertemu dan melihat mata sendu itu. Tanpa sepengetahuan Azura, dia sering berselancar ke akun facebooknya, untuk sekedar mengunduh foto mereka berdua. Tak ayal, galerinya sekarang penuh dengan gambar Ayana dan Azura. Namun, dirinya tak berani mengambil foto Ayana sendirian, takut ketahuan kalau dirinya menginginkan gadis itu.
“Ra, kau bisa bercerita sama Kakak tentang Ayana, kan. Selama ini kalian berkawan akrab. Pastinya tahu betul siapa dia, siapa teman dekatnya, di mana tinggalnya, siapa ….”
“Pacarnya, hahaha …,” tukas Azura menggoda Awan lagi.
“Ya. Siapa pacarnya?” Kepalang tanggung, Awan langsung menceploskan yang ingin ia ketahui tentang gadis itu.
“Maaf, ya Kak. Ayana itu gadis tertutup. Meskipun kami dekat, tapi tak semua dia ceritakan pada Zura. Hanya yang Zura tahu, Ayana tinggal bersama ibu dan kakaknya. Duh, rumahnya mana, ya? Lupa, Kak. Ayahnya meninggalkan mereka semenjak Ayana masih di kandungan. Jadi selama kuliah, dia tak mau membebani ibunya. Makanya dia kuliah sambil bekerja. Dulu, setahuku dia ngasih les ke anak SD. Semenjak anak itu pindah, nyaris dia belum ada pekerjaan lagi. Jadi hanya mengandalkan bea siswa prestasi saja.”
“Ya, kalau yang prestasi aku tahu. Kau kan pernah bercerita tentang itu. Cerita yang lainnya. Tentang teman dekatnya, mungkin pacarnya kali.”
“Kepo amat, nih. Setahuku Ayana tak pernah dekat dengan teman cowok. Dia juga tak pernah cerita tentang yang lainnya kok. Cuman, seingatku waktu orientasi dahulu, ada cowok yang mendekatinya. Tapi ya Kakak tahu sendiri lah, dia selalu ketus kalau ditanya dan cuek. Kayaknya si cowok mundur dengan sendirinya karena tak ada tanggapan dari Ayana.”
“Hanya satu cowok itu saja yang mendekatinya?”
Azura menyipitkan matanya, jarinya mengetuk-ngetuk keningnya. Seolah sedang mengingat-ingat dan mengumpulkan memori tentang Ayana.
“Yah, aku ingat. Cowok kedua yang datang padanya dari jurusan lain. Tapi ya nasibnya sama dengan cowok yang pertama. Abis, Ayana terlalu cuek sih, meskipun dia itu sebenarnya sangat cerdas. Kalau yang belum mengenalnya, dia sepertinya sangat pendiam dan pemalu. Namun, kalau sudah klop dia itu asyik kalau di ajak ngobrol dan wawasannya luas. Makanya aku betah berkawan dengannya. Dia itu laksana kamus berjalan bagiku, hahaha. Sayangnya tak ada yang tahu dan mau tahu kalau ada permata yang berkilau di kampus ini, ya si Ayana itu.” Azura mengingat lagi saat meraka pertama kali mengisi KRS. Dia sempat melihat nilai Ayana di semester satu, kebanyakan nilainya A dan hanya tiga yang nilainya B.
“Kak, sekarang Ayana sedang kesulitan. Aku berulang kali menawarkan bantuan. Namun, selalu ditolaknya dengan halus. Aku kasihan sama dia sebenarnya, cuman tak tahu bagaimana cara menyakinkan dia agar mau menerima bantuanku.” Azura menelan ludahnya. Lalu menghirup udara dalam-dalam. “Azura tak mau merepotkan orang lain, apa pun kesulitannya dia pendam sendiri. Tadi siang Ayana bercerita kalau kakaknya sedang di rawat di rumah sakit. Dia mau pulang, tapi ya terkedala biaya kayaknya. Terus aku tawarkan bantuan, dia tak mau sih awalnya. Namun, setelah aku bilang, nanti kalau bea siswa sudah turun dia bisa menggantinya. Barulah dia mau.”
“Terus rencananya apa?”
“Aku kan akan mengantarkan dia pulang, coba kalau kakak yang mengantarkannya. Sekalian kenalan sama calon mertua. Bagaimana?”
“Emangnya dia mau? Apalagi setelah kejadian tadi di kelas.”
“Kakak, sih. Bukannya memuji malahan mempermalukannya. Terang saja dia marah sama Kakak. Seandainya aku di posisi Ayana, aku pun akan marah kok sama Kakak.”
“Terus aku harus bagaimana, Ra?”
“Besok pagi Kakak harus minta maaf. Jam sebelas Kakak ada jam tidak? Kalau tidak, nanti Ayana akan aku ajak makan siang di kantin. Kakak pura-pura aja makan di sana. Nah setelah itu Kakak duduk dengan kami, aku pergi Kakak minta maaf tentang masalah yang kemarin, terus ya ngobrol apa saja deh. Mosok ya harus aku ajari. Intinya, Ayana suka mata kuliah eksak, Kak. Ngomongin aja tentang kalkulus, fismat atau apalah-apalah. Gimana?”
Awan manggut-manggut mendengar usulan adiknya. Dia pun tersenyum dan mengangguk. Dia bersiap untuk meminta maaf pada Ayana esok harinya.
Malam terasa amat panjang bagi Awan. Tak seperti biasanya matanya susah dipejamkan. Hingga tak terasa jarum jam menunjuk angka satu. Dia bangkit dan mengambil wudu. Menghalau gelisah dalam hatinya. Memasrahkan semua takdir apa yang akan terjadi pada Sang Pemberi Hidup, Allah SWT. Dia berdoa agar rencananya yang telah disusun bersama Azura lancar tanpa ada kendala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Cinta Ayana
Teen FictionAyana sejak kecil belum pernah melihat ayahnya. Karena orangtuanya bercerai sebelum mengetahui kalau ibunya mengandung dirinya. Pertemuannya yang tak sengaja dengan pemuda bernama Abiseka membuat banyak perubahan pada dirinya. Cerita cintanya tak s...