Basecamp Mawar

6 2 0
                                    

Gunung Ungaran adalah salah satu gunung tertinggi di Semarang, berjarak sekitar 40 km dari pusat kota Semarang. Terletak pada ketinggian 2.050 mdpl, sehingga saat berada di puncak bisa melihat pemandangan kota Semarang dan sekitarnya yang menakjubkan.

Ayana tersentak, saat ada bayangan yang sudah berdiri di sampingnya. Saat doa menoleh, Dosen muda itu telah berada di dekatnya dengan senyuman yang melelehkan hati yang melihat. Ayana menelan Saliva, dan menatap sekilas ke arah Awan.

“Sedang apa kamu? Kok sendirian?”

“Melihat ciptaan Allah yang indah, Pak. Bapak sendiri ngapain ke sini?” Ayana menoleh ke samping.

“Menemanin kamu. Kasihan sendirian, tuh lihat!” Tunjuk Awan ke arah para mahasiswanya yang sedang duduk-duduk di tepi jalan. Kebanyakan dari mereka pada berduaan.

Ayana menengok ke sekelilingnya. Lalu dia pun tersenyum. Dosen muda itu lalu berbicara lirih dekat telinganya. “Kau tak mau seperti mereka?” godanya. Ayana hanya menggeleng.

"Bapak ingin seperti mereka?" Ayana bertanya balik.

"Mau, asal sama kamu!" goda Awan sambil tertawa.

"Bapak ini sukanya bercanda. Maaf, saya gabung ke kelompok saya dulu." Ayana berlalu dari samping Awan yang masih terbengong menatap punggung Ayana.

Saat ini rombongan Ayana masih berada di Basecamp Mawar. Mereka bersitirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian. Pemandangan di pos ini sangat indah dan udara masih terasa sejuk. Di sekitar Basecamp Mawar ditemukan warung-warung makanan, sehingga apabila mereka belum menyiapkan bekal untuk pendakian bisa membeli makanan di sini.

Setelah dirasa cukup, mereka mulai melanjutkan perjalanan lagi. Perjalanan dari Pos 1 masih dibilang belum menguras tenaga, karena trek masih ringan. Jalanan tidak terlalu menanjak, serta di kanan-kiri jalan terlihat tumbuhan perdu dan semak belukar yang tidak terlalu tinggi. Pohon-pohon pun belum terlalu rapat. Sebelah kanan jalur pendakian, sejauh mata dimanjakan dengan pemandangan kota Semarang yang nampak indah.

Beranjak dari pos 1 ke pos 2, jalurnya masih cenderung sama dengan awal pendakian hingga masuk ke hutan lereng gunung. Mulailah mereka masuk ke dalam rimbunan pepohonan dengan trek yang masih belum terlalu menanjak. Udara berembus dengan sejuk sehingga terasa nyaman. Sinar matahari terhalang rerimbunan pepohonan, tentunya akan sangat meneyenangkan saat melakukan perjalanan ini. Tidak tersengat matahari.

Setelah beberapa saat, rombongan Ayana tiba di sungai yang airnya sangat jernih dengan bebatuan yang besar-besar di sekitarnya. Airnya pun sangat dingin, laksana menyentuh es. Rizal pun menginstruksikan kepada para peserta untuk istirahat sejenak dan mengisi persedian air minum jika persediaanya telah habis.

Ayana duduk di atas batu kali, lalu melepas sepatunya, dan memasukkan kakinya ke aliran air. Sensasi dingin menelusuri kulitnya. Awan yang selalu menemaninya melakukan hal yang sama. Bunyi kicauan burung-burung hutan menambah kesahduan alam.

Setelah melewati aliran sungai, tanjakan berbatu akan menjadi tantangan awal pada pos 2 ini. Sesampainya di pos 2, mereka melepas lelah pada gubuk yang terdapat di pinggir jalan. Tanah sekitarnya juga sangat luas. Di pos ini mereka juga berhenti sejenak. Menikmati suasana alam dan menghirup udara segar sepuasnya.

Di pos dua ini, mereka pun kembali mengeluarkan catatan. Mengukur tinggi tempat dengan alat altimeter dan mengukur tekanan udara dengan barometer. Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang telah dibagi sebelum pemberangkatan.

Perjalan pun dilajutkan dari pos 2 menuju pos 3. Medan yang mereka lewati tidak terlalu beda dengan pos 2. Pepohonan rimbun masih mendominasi di kanan dan kiri jalan. Sinar matahari tak menyentuh tanah. Jalanan terbuat dari tanah padat sehingga mudah untuk mereka lalui.

Sampailah mereka pada pos 3. Di pos ini mereka berhenti di dekat bak penampungan air yang menyerupai kolam renang. Di sekitar tempat ini terdapat pondok-pondok, karena kawasan ini merupakan area Perkebunan Kopi Sikendil.

Di setiap pos, mereka diharuskan untuk membuat catatan yang nantinya akan dilaporkan sebagai tugas kegiatan KKL ini. Dari pos 3 perjalanan dilanjutkan hingga Perkebunan Teh Medini. Tampak hamparan pohon teh yang menghijau dengan udara yang sejuk. Ayana tak habis-habisnya berucap syukur karena dapat menyaksikan keindahan alam secara langsung.

Di Promasan, Rizal menginstruksikan untuk mendirikan tenda agar bisa beristirahat meski sejenak sebelum melanjutkan pendakian. Dia pun menawarkan bagi yang ingin mengunjungi Gua Jepang dia bisa memandunya. Namun, seandainya ada yang tidak mau boleh  beristirahat di tenda.

Hanya ada beberapa orang saja yang penasaran dengan keberadaan Gua Jepang yang terkenal mistis itu. Ayana merasa sayang jika sudah sampai di sini, tetapi tidak mengunjunginya. Akhirnya, Ayana dan  rombongan kecil ini menuruni lereng menuju ke Gua Jepang.

Gua Jepang terletak di Kebun Teh Peromasan, Medini. Saat memasuki mulut gua rasanya hati mulai berdebar-debar. Udara dingin mulai menyambut kedatangan mereka. Tanpa disadari, tangan Awan telah berada dalam genggamannya. Mereka masuk dengan bantuan cahaya senter, di dalam gua terlihat gelap meskipun di luar sangat terang.

Dinding gua yang begitu dingin, lantai yang agak lembek dan becek serta suasana yang sangat gelap menciptakan sensasi sendiri di hati Ayana. Dengan bermodalkan lampu senter saja mereka bersepuluh berjalan saling bergandengan menembus pekatnya gua, takut ada yang tertingal dari rombongan hingga membuat hati was-was.

Banyak bilik di kanan dan kiri sepanjang lorong gua peninggalan Jepang menambah ngeri dan berdiri bulu kuduk, karena banyak cerita mistis yang beredar selama ini. Namun, rasa penasaran yang tinggi menghapus segala rasa takut yang mendera dalam dada Ayana. Awan membiarkan saja tangannya berada dalam genggaman Ayana, meskipun dalam hatinya merasa heran. ‘Ayana sadar tidak nih. Dia menggenggam tanganku erat. Haha, biarin saja lah. Mungkin dia takut kali. Ah, masa bodo yang penting aku bisa menikmati kesempatan ini,’ guman hati Awan sambil tersenyum-senyum sendiri.

Begitu keluar dari gua, Ayana melepaskan tangannya, dia baru sadar jika sejak di dalam gua telah menggandeng tangan sang dosen muda itu. Wajahnya menunduk malu dan merona merah. Dia pun menjadi salah tingkah. ‘Duh, bagaimana ini, kok berani-beraninya aku gandeng tangan Pak Awan, sih?’ gumannya dalam hati.

“Maaf, Pak! Ta-tadi … saa-saya ….”

“Maaf untuk apa?” goda Awan pada Ayana, membuat gadis itu salah tingkah. Azura sengaja membiarkan kakaknya untuk berdekatan dengan Ayana. “Gak apa-apa, mau lagi juga boleh, kok!” seloroh Awan.

Ayana tampak malu sekali. “Maaf, Pak. Saya duluan, ya!” ujarnya sambil berlari naik terlebih dahulu, untuk menghindari Awan dan menata hatinya karena rassa malunya itu.  Awan melihat Ayana tersipu malu hanya tertawa, sambil menggelengkan kepalanya.

“Ay … Ay. Aku malah senang jika kau mau selalu aku gandeng. Ah, ternyata memang kau melakukannya karena di luar kesadaranmu. Tak apalah. Semoga kau segera menyadari dan tahu apa arti perhatianku padamu,” guman Awan dalam hati.

Elegi Cinta AyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang