04

20 5 1
                                    




Mendekatlah maka biarkan waktu yang menjawab betapa tulusnya perasaan ini untukmu



Perjalanan ke kampus bersama Lucas masuk ke daftar hal paling menyeramkan yang pernah aku rasakan setelah aku hampir mati keracunan akibat racun tikus yang sengaja diberikan mama padaku saat aku berumur 6 tahun.

Lucas tau segalanya, keluarga kami berteman dekat, terutama mamaku dan mama Lucas. Tentu saja, mama Lucas sangat tau betapa bencinya mamaku padaku. Biasanya jika mama sudah tau, maka anaknya juga tau. Seperti itu kira-kira gambaran pengetahuan Lucas tentang hidupku.

Lucas denganku berada di tahun kelahiran yang sama dan kami sama-sama menyebalkan bedanya adalah Lucas punya banyak teman dan disayangi banyak orang sementara aku tidak.

"Gue denger papa kita udah tandatangan kerjasama perusahaan?"

Aku tidak tau hal itu, "haha iya.."

"Ketahuan."

"Hah?"


"Lo gak tau apa-apa tentang papa lo," ucapnya dengan senyum remeh.


Sialan!

Aku terdiam tidak menghiraukan ucapan Lucas yang sebenarnya benar adanya.

"Jadi, mama lo udah nyerah untuk bunuh lo nih? Lo punya nyawa tuh 9 ya? Gak mati-mati anjir, padahal udah di dorong dari lantai 2 rumah lo sendiri."

"Berisik ah, iya aku punya 9 nyawa, puas?" ucapku dengan nada tidak suka.

Dia pencari topik yang buruk sekali.

"Santai aja dong, kapan lagi kan throwback with me, hm?"

"Kamu sebenarnya mau ngomong apa sama aku?"

"Ngomong layaknya temenlah, temen yang nanyain kabar keluarga masing-masing, salah?"


Salah, karena aku sendiri juga gak tau banyak tentang mereka, harusnya Lucas bertanya pada mamanya, bukan aku.

Aku terdiam lagi dan memandang ke arah luar, melihat beberapa kendaraan yang lewat, banyak sekali. Aku sampai pusing melihatnya.

"Papa lo baik-baik aja kok begitu juga papa gue, setelah perang sama beberapa perusahaan, akhirnya mereka bersatu buat bikin perusahaan-perusahaan itu takluk di tangan mereka, bangga gak lo?"

Aku melihat Lucas, dia anak sahabat baik Papa, "Bangga banget. Makasih infonya, Cas." ucapku memandangnya terus.

Aku membencinya dan dia membenciku. Dia bukan hanya sekedar musuh, dia musuh yang perhatian dan aku butuh dia.

"Sama-sama, berhenti liatin gue kayak gitu atau nanti kita baku hantam? Yuk turun, udah sampe, pendek!" Lucas menyentil dahiku dan melepas seatbeltku.


Dari arah parkiran motor, aku melihat mereka. Rambut si perempuan berantakan dan langsung dirapikan oleh laki-lakinya. Laki-laki itu tersenyum cerah sekali melihat si perempuan yang cemberut, bisa ku tebak perempuan itu benci naik motor.

Mereka, Nia dan Dejun, serasi sekali. Aku iri, kecewa dan patah hati. Dejun tidak pernah tersenyum padaku, satu-satunya ekspresi paling bersahabat adalah ketika aku menolongnya untuk terbebas dari hukuman 'tidak memakai sabuk sekolah' saat kelas 11 SMA dulu, saat itu aku yang dihukum.

Aku sangat paham bagaimana takutnya Dejun untuk masuk ke daftar gelap Pak Yuta. Ia harus menjaga nama baiknya agar nilainya bisa aman. Jadi aku menolongnya, tidak salah kan?

Aku masih memandang mereka, tapi perasaan semrawut itu ku sembunyikan di balik wajah ceriaku. Aku menyambut rangkulan Lucas di pundakku. Sudah ku bilang, dia musuh yang perhatian.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang