11

19 2 0
                                    

Papa, maafkan aku, dia terlalu jauh untuk kugapai, Papa harus tau sesakral ini kumencintainya. Papa, apa ini benar akhirnya?


Sudah hari kesekian aku berada disini. Bersembunyi sebisa mungkin. Berbeda dengan Mama dan Kak Hendery yang jarang sekali berada di rumah.

Aku dengar setelah Kak Hendery wisuda nanti, perusahaan akan langsung jatuh ke tangan Kak Hendery.

Kepergian Papa dirahasiakan oleh keluarga kami demi kepentingan perusahaan. Papa itu pengusaha yang sukses, banyak yang ingin merebut perusahaan Papa, oleh sebab itu untuk sementara Mama yang mengambil alih perusahaan dibantu dengan orang tua Lucas.

Ah, mengenai Lucas dia masih belum diberitahu juga mengenai kepergian Papa, begitu pula Mark apalagi Dejun.


Tapi hari ini, tepat seminggu sebelum semester 4 dimulai aku berada di rumah Dejun, membantu Bunda Jessica memasak makanan untuk keluarganya.

Aku jelas merindukan Dejun. Hampir 1 bulan aku tidak tahu bagaimana keadaannya.

Dejun menuruni tangga rumahnya, tatapannya mengarah padaku, seperti biasa tatapan marah dan tidak suka akan keberadaanku.

"Aya, bantu Bunda bawa sup ayamnya ke meja makan ya, Nak!" pinta Bunda.

Aku menganggukkan kepalaku dan langsung membawa sup ayam ini ke meja makan.

Setelah semua makanan telah lengkap di meja makan, kami duduk di kursi masing-masing, aku berhadapan dengan Dejun. Lalu, Ayah memimpin doa dan Bunda mengambilkan kami nasi setelah itu kami bebas memilih lauk apa yang ingin kami jadikan teman untuk si nasi ini.


Meja makan ini hangat sekali.

Berbagai cerita sudah ku dengar dari mulut Ayah dan Bunda.

Semuanya hangat kecuali si batu Dejun. Tatapannya menusukku.

Tapi aku tidak terlalu peduli, lebih tepatnya aku sudah terbiasa dengan itu.

Aku merekam jelas semua yang terjadi di meja makan ini.

Seperti biasa, aku membayangkan Papa, Mama dan Kak Hendery disini.

Seperti biasa pula, aku berdoa suatu saat nanti aku bisa merasakan kehangatan itu di meja makan kami. Bukan hanya sekedar bayanganku saja.

Tiba-tiba kenyataan menamparku dengan keras. Sampai kapanpun kehangatan itu tidak akan aku bisa rasakan.

Aku sudah kehilangannya.

Aku kehilangan pemilik kursi utama di meja makan kami.

Bukan hanya aku yang kehilangan, tapi Mama dan Kak Hendery juga merasakan yang sama.

Tamparan itu begitu keras sampai kedua mataku dengan kurang ajarnya berkaca-kaca di meja makan hangat ini.

Aku..

Aku tidak ingin merusak kehangatan ini, jadi aku izin ke kamar kecil.

Disana sebisa mungkin aku menenangkan pikiranku.

Aku tidak boleh merusak apapun lagi.



Tapi tetap saja, aku masih Aya yang menyebalkan.

Selepas makan malam, dengan tidak tahu malunya masuk ke dalam kamar Dejun.

Aku melihat di pojok meja belajar Dejun, ada plastik makanan pemberianku disana.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang