Malam kemarin itu adalah pertama kalinya gue pulang bareng sama Nesa. Walaupun di sepanjang perjalanan kebanyakannya hanya saling diam, tapi bagi gue itu tak masalah yang penting bisa bersamanya.
Mungkin saja dalam diam kita saling berbagi cerita tentang pribadinya. Mungkin. Gue mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya yang pagarnya berwarna hitam, warna cat rumahnya berwarna abu-abu.
Di halaman rumahnya terdapat pohon rambutan yang mulai menumbuhkan buahnya yang masih belum masak. Nesa mengajak gue untuk mampir ke rumahnya, namun gue minta ijin langsung pulang karena gue beranggapan bahwa belum saatnya dan kebetulan kemarin itu udah hampir larut malam. Tapi baru aja gue nyalain mesin motor, dia memegang kaca spion yang mengisyaratkan jangan dulu pergi, akhirnya gue mengikuti isyaratnya.
"Sa,," katanya sambil tertunduk.
"Iya Nes?," jawab gue dengan bingung.
"Aku boleh minta kontak kamu gak? Untuk memastikan kamu udah nyampe di rumah atau belum," katanya mengangkat kepalanya dan menatap ke arah gue dengan tatapan cemas.
"Iya tentu Nes, kenapa enggak?," kata gue tersenyum. Lalu dia memberikan ponselnya untuk gue ketik. Dalam hitungan detik gue udah ketik nomor ponsel gue dan pin bbm.
"Makasih sa," katanya. Gue tersenyum untuk menjawab ucapan terimakasih darinya. Kemudian gue menstater sepeda motor lalu memacunya untuk berjalan.
Saat perjalanan menuju pulang ke rumah, gue tersenyum dengan sendirinya, seperti orang yang baru kerasukan makhluk halus. Di persimpangan jalan saat kendaraan yang gue naiki ini berhenti karena lampu lalu lintas memancarkan cahaya yang berwarna merah, itu tandanya gue harus berhenti.
Di sekeliling gue yang sama sedang menunggu lampu merah menjadi warna hijau, sebagian pengendara lainnya melihat gue yang senyum-senyum gak jelas dan gue mengabaikan mereka karena mereka gak tahu apa yang sedang gue rasakan saat ini.
Entah apa yang ada dipikiran gue saat ini bercampur aduk bagaikan permen nano-nano yang semua rasa yang ada di permen tersebut menjadi satu, sama halnya dengan gue yang saat ini gue rasain. Bisa dibilang gue seneng, iya. Gue gugup, sudah pasti. Gue jatuh cinta, mungkin saja. Yang jelas apapun keadaannya minumnya tetap teh botol sosro.
-----***----
Sesampainya di rumah, gue masih dalam keadaan kayak tadi senyum-senyum gak jelas gitu. Semua orang yang ada di rumah nampak kaget melihat gue seperti ini. Gue berjalan dari ruang tamu yang berkedapatan ada Bunda dan Yuda, tapi gue gak melihat Melati, mungkin dia sedang belajar.
Bunda terbangun dari duduknya dan menghentikan langkah gue, mungkin beliau penasaran kenapa gue bertingkah seperti orang yang baru keluar dari rumah sakit jiwa. Bunda bertanya gue kenapa dan gue jawab.
"Hesa barusan nganterin bidadari ke kayangan Bun," jawab gue asal, Bunda tercenung dengan jawaban gue yang baginya itu jawaban yang paling ngaco.
"Eh, ditanya kok malah ngelantur gitu," kata Bunda mulai kesal dengan tingkah gue.
"Hesa gapapa kok Bunda," kata gue sambil memeluk Bunda. Lalu gue berjalan menuju ke kamar. Bunda masih diam, kemudian dia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Bunda merasa gue aneh. Entah.
Gue melempar ransel ke tempat tidur, dan gue melompat untuk berbaring diatasnya. Banyak hal yang pengen gue tulis di buku diary tapi hal itu tak akan mungkin terjadi, karena gue tahu pasti tak akan cukup waktu semalaman gue menulisnya. Akhirnya gue urungkan niat itu.
Beberapa menit kemudian saat gue menatap langit-langit kamar, ponsel berdering di saku celana panjang abu-abu. Segera gue mengambil ponsel yang masih bergetar di saku karena dibuat merasa geli karena getarannya. Ada pesan masuk tapi dari nomor yang tidak gue kenal bahkan tidak diketahui, karena tidak tersimpan dalam kontak ponsel gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
November
רומנטיקהDia adalah Vanesa wanita yang ku cintai namun dia memilih pergi untuk membuatku lebih bahagia. Namun semua itu salah, justru aku merasa kesepian setelah dia pergi. Namun sampai kapanpun perasaan ini akan tetap sama ketika aku pertama kali bertemu.