9. Kenangan Vanesa Datang

8 0 0
                                    

Kini gue sampai di depan rumah Vanesa, di depan rumahnya terdapat mobil Honda Jazz, sepertinya baru datang. Mungkin tamu dari orangtua Nesa, pikir gue. Nesa juga tampak kebingungan melihatnya.

Seseorang membuka pintu depan mobil, ia mengeluarkan satu kakinya untuk membuat tumpuan untuk keluar, dari sepatunya gue udah nebak pasti cowo. Nesa masih duduk terdiam di belakang gue.

Kemudian ia keluar dari mobil, mengenakan kaos polos hitam celana jeans dan kacamata sama seperti Nesa memakai kacamata. Ia melambaikan tangan ke arah kami. Gue bingung. Lalu tiba-tiba Nesa turun dari motor gue, kemudian ia berlari menuju cowo tersebut.

"Adam!" teriak Nesa sambil berlari.

"Hah Adam?" kata gue melongo. "Jadi si A yang dimaksud Nesa tadi si Adam ini?" tanya gue dalam hati.

"Vanesa!" jawabnya.

Setelah sampai berhadapan Nesa memeluk cowo tersebut dan cowo bernama Adam itu membalas pelukannya. Adegan drama macam apa ini? Gue masih bingung layaknya orang bego yang lagi megang balon. Kalian pasti tahu bagaimana perasaan gue saat ini yang tak perlu dijelaskan lebih mendalam.

Sakit? IYA!

Cemburu? SANGAT!

Tapi dalam hati ini berbicara seakan mengingatkan gue: "Nesa itu,bukan pacar lo! Lo gak berhak cemburu, lo berhak buktiin kalo lo lebih pantas bahkan lebih baik dari cowo yang bernama Adam itu!"

Gue gak mau mengganggu suasana adegan drama yang ada di depan mata kepala gue sendiri. Gue sama sekali gak tahan untuk melihatnya.

Tanpa berpikir panjang lebar kali sisi, gue putar balik mendorongnya hingga beberapa meter menjauhi adegan drama konyol tersebut, lalu menyalakan mesin dan gue pacu dengan air mata.

Di bagasi motor ada sebatang rokok yang tertinggal tadi pagi pasti itu milik Rudi, gue ambil dan taruh di mulut. Sebenernya gue gak merokok, tapi keadaan yang memaksa gue mau gimana lagi?

Gue menepi ke pinggiran jalan berniat untuk menyalakan rokok ini. Gue tempelin ujung rokok ini ke hati gue. Gue isep tapi gak keluar keluar asapnya. Karena gue mencoba menyalakan rokok dengan api cemburu dan mengeluarkan kepulan asap asap penyesalan. Apaan sih!

Ponsel gue berdering. Panggilan masuk dari Rico.

"Hallo"

"Eh bangsat! lo kemana aja sih?," kata Rico dengan nada sedikit naik.

"Sorry, gue otw sekarang,"

"Yaudah cepetan! Jangan lama" lalu ia menutup telponnya.

----***----

Tepat pukul tujuh malam, gue tiba di basecamp lalu masuk ke dalam. Gue salam ke ibunda Ranggi kemudian menuju ruang tamu. Setelah sampai gue lihat mereka berenam sedang bermain gaple sambil merokok. Asap rokok telah memenuhi seisi ruangan. Gue merasa sesak napas.

"Eh bagi sebatang dong," pinta gue entah pada siapa, sambil duduk disamping Sandi.

"Nih ambil" Rudi menyodorkan sebungkus rokok ke gue.

"Haha kenape lo Sa? Tumben banget lo merokok," celetuk Rico.

"Bukannya lo gak pernah merokok ya?," tanya Ridwan dengan heran.

"Iya nih, cerita dong kenapa," tambah Ranggi.

"Kalo lo punya masalah sebaiknya lo cerita pada kita ini, tak baiklah bila di pendam sendiri," kata Sandi so bijak. Gue menyalakan rokok yang ada di tangan.

"Biar kita juga bisa ngerasain apa yang lu rasa," ujar Faris.

Gue masih diam. Gue gak tau harus mulai dari mana. Tadi sore gue udah bohong pada semuanya. Kali ini gue bingung. Gue hisap rokok ini lalu mengeluarkan perlahan, sedikit terbatuk juga karena gue baru pertama kali.

"Kayaknya gue gak bisa penuhi janji kita, buat bawa doi besok ke acara lomba nanti," ucap gue merintih.

"Kata siapa besok lo gak akan bawa doi?," celetuk Rico.

Gue menengok kearahnya lalu menunjuk ke diri gue sendiri. Dia hanya cengengesan gak jelas.

"Yaudahlah gapapa gak usah dipikirin, yang penting kau harus fokus buat lomba nanti," kata Sandi.

"Yuk ah siap-siap buat besok," ujar Ridwan.

Akhirnya kami mulai brifing untuk besok. Mulai sedikit latihan, persiapan alat yang harus dibawa, stelan dresscode untuk dua hari tampil. Faris dan Ridwan menyiapkan perlengkapan dokumentasi. Selesai brifing pukul sebelas malam.

Saatnya untuk pulang. Namun Rico dan Sandi memutuskan untuk menginap. Besok kita kumpul jam tujuh di rumah Ranggi, lalu ke sekolah jam sembilan pagi. Gue, Faris, Rudi dan Ridwan akhirnya pamit untuk pulang.

----***----

Tak terasa gelap pun jatuh

Di ujung malam menuju pagi yang dingin

Hanya ada sedikit bintang malam ini

Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

Earphone yang dipakai saat ini gue lepas, sudah tiba di rumah. Terima kasih lagu dari Payung Teduh ini menemani perjalanan gue dari basecamp menuju istana Ayah dan Bunda buat selama beberapa tahun. Sedikit terhibur dengan alunan lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan cukup membuat gue sedikit cemas namun banyak rindunya.

Astaga! Malam yang tidak terduga menjelang hari esok. Hari ini terdapat dua peristiwa bagi gue. Pertama rasanya sangat senang bisa berdua bersama Nesa, gue tahu sedikit cerita tentang masa lalunya, dan juga sebaliknya dia tahu masa lalu gue tapi sedikit. Kedua, rasanya begitu pahit cewe yang gue suka memeluk masa lalunya di depan mata gue sendiri.

"Arrrrrggggghhhhh!" teriak gue ke arah luar jendela.

Bodo amat, tetangga mau denger atau enggak. Terserah, tetangga mau nimpuk gue pake batu juga terserah. Asalkan jangan nimpuk pake asmara.

Yang jelas gue gak peduli dan hal terpenting gue harus lupain hari ini. Anggap saja kalo hari ini hanyalah sebuah mimpi buruk di malam hari buat gue.

Back Sound lagu Rocket Rockers judulnya Ingin Hilang Ingatan:

Menghilanglah dari kehidupanku

Enyalah dari hati yang tlah hancur

Kehadiran sosokmu kan menyiksaku

Biarkan disini ku menyendiri

Gue berpikir sejenak. Sepertinya itu bukan backsound buat gue sekarang, tapi itu adalah nada dering telpon gue. Berarti ada yang nelpon. Astaga terbawa suasana sekali gue ini.

Telpon dari Vanesa. Gue bingung harus angkat atau tidak. Tapi terkadang otak dengan jari tangan gue tidak pernah singkron sehinnga tak mau menurut perintah gue, ia menekan tombol gagang telpon berwarna hijau. Duh! Sial!

"Hallo, Hesa" suaranya yang lembut membuka pembicaraan.

"I... iya Nes?," jawab gue pelan.

"Hesa, tadi kamu kemana? Kok langsung pulang? Gak pamitan dulu," Nesa mendadak panik.

Hening sesaat. Rasanya gue males menjawab pertanyaan Nesa. Entah mengapa. Lo pasti tahulah alasannya.

"Hesa?," katanya lagi.

"Tadi aku langsung ke rumah Ranggi, buru buru soalnya. Maaf ya," jawab gue datar.

"Oh, iya gapapa. Semangat ya untuk lombanya,"

Astaga! Ada apa ini?

"Iya makasih," gue mengakhiri pembicaraan dengan menutup telponnya.

Seharusnya gue gak lakuin ini pada Nesa. Kalo di pikir-pikir apa yang barusan gue lakuin tadi. Nesa itu bukan pacar gue, dia masih single alias jomblo. Jadi bebas buat dia untuk milih siapa saja yang ingin menjadi pasangannya.

Gue gak punya hak untuk cemburu. Gue gak punya hak buat ngatur dia gaul sama siapa. Tapi gue punya hak untuk sayang sama dia. Kekanak-kanakan sekali gue ini. Ternyata benar bukan hanya rindu saja yang berat, tetapi cemburu juga itu berat!

Emosi yang tak terkendali membuat gue lupa diri. Kini pintu penyesalan telah menunggu gue untuk ikut bersamanya. Mengapa penyesalan harus terjadi setelah apa yang kita perbuat? Entahlah, agar kita berpikir sebelum bertindak. Mungkin.

NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang