6. Puisi Romantis

7 0 0
                                    

Hari senin merupakan hari dimana pertama sekolah dalam minggu ini biasanya orang-orang bersemangat juga terpacu tuk menyambutnya karena bisa dikatakan dapat memperbaiki minggu lalu tuk menjadi lebih baik lagi. Namun dari pandangan kami umumnya para siswa sangat mengeluhkan datangnya hari ini karena banyak diantaranya tak bisa move on dari weekend-nya termasuk gue.

Para siswa seperti kami ini masih ingin menikmati hari libur kami untuk melakukan berbagai aktivitas di luar sekolah dan bersantai di rumah. Di tambah lagi, hari ini begitu tak secerah seperti hari libur kemarin.

Hari ini kebetulan gue gak bawa motor karena dipakai oleh Bunda untuk mengantarkan Yuda ke sekolah. Kebetulan hari ini jemputan dari sekolah adik gue gak bisa jemput entah apa alasannya, jadi mau gak mau si Bunda yang nganterin. Tadinya bisa aja gue yang nganterin tapi si Yudanya gak mau dianter sama gue. Akhirnya terpaksa gue harus mengalah dan naik angkutan umum.

Saat turun dari angkutan umum, gue dipaksa berjalan beberapa meter untuk bisa sampai di sekolah. Sekolah gue ini lumayan cukup jauh dari jalan raya sehingga tak bisa menurunkan gue tepat di depan sekolah.

Setelah turun, gue jalan menuju ke sekolah sebagaimana yang lainnya. Bedanya, gue jalan sendirian, yang lainnya ada yang berdua atau lebih. Dari mata gue langsung tertuju pada seseorang yang tak asing di mata gue. Ia menggunakan kerudung tentunya dan tas selendang berwarna biru muda sedang berjalan di depan gue. Yang pasti dia berjalan di jalan dan menginjak tanah bukan melayang.

Tak salah lagi pasti dia Vanesa, pikir gue. Tanpa pikir panjang, gue melangkahkan kaki dengan cepat untuk bisa sejajar berjalan dengannya. Kini hanya berbeda beberapa langkah saja. Gue mengumpulkan keberanian untuk menyapa duluan dan meminta maaf karena semalam pesannya gak bisa gue bales.

Gue mencoba menepuk pundaknya. "Nes, maaf ya kemarin,"

Kemudian ia menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh kearah gue perlahan namun pasti. Ia membalikkan badannya.

"Maaf mungkin kakak salah orang," katanya dengan menahan tawa lalu ia membalikkan badannya lagi dan melanjutkan langkahnya tanpa beban kemudian meninggalkan gue yang masih diam mematung.

Gue merasa sangat gondok sekali karena yang gue pikir itu Vanesa ternyata salah orang, hanya tasnya saja yang sama. Namun wajah dan senyumnya sangat berbeda. Gue serasa dicambuk olehnya secara perlahan bertubi-tubi.

Baru pertama kalinya sejak gue putus dengan Yulia pacar gue, eh, maksudnya mantan gue, gue menyapa duluan pada cewe. Biasanya gue akan bicara sama cewe kalo si cewenya yang ngajak ngobrol duluan ke gue, itu pun hanya bisa gue jawab seadanya saja. Jadi, tak heran kalo di sekolah gue dikenal selain sebagai vocalis band Jones juga orang yang agak sedikit sombong menurut mereka.

"Hey sa," seseorang menepuk pundak gue yang masih mematung, suaranya lembut seperti tangannya yang menyentuh pundak ini.

Gue tersentak kaget hingga gue tersadar dari lamunan. Refleks gue maju satu langkah hingga tangannya lepas dari pundak lalu memutar membalikkan badan. Cewe itu nampak terkejut melihat respon gue terlihat dari kakinya yang mundur satu langkah, tak lama dari itu keringat dingin mulai menghujani dahi dan disekitar kedua telinga gue. Rasa gugup mulai menghampiri.

"Kamu kenapa sa?," tanya dia lagi. Kaki gue gemetaran dan menjadi semakin gugup. Gue mencoba mengendalikan diri gue sendiri sehingga keliatan menjadi normal seperti biasanya.

"Eh iya gapapa kok," kata gue tertunduk. Ketika gue mengangkat kepala yang mencoba melihat wajahnya. Dia Vanesa yang asli bukan yang palsu.

"Udah yuk berangkat kita hampir terlambat lho! Kamu lucu sekali," katanya sebari dia mendahului beberapa langkah.

NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang