10. Apa Yang Salah?

10 0 0
                                    

Luka tak pernah bicara namun berkata melalui air mata. Mentari pagi terbit dengan tulus menerima pahitnya kenyataan bahwa ia akan sendirian melewati hari ini dan seterusnya. Berbeda halnya dengan rembulan yang selalu berdua seakan tak pernah terpisahkan dari bintang setiap hari.

Kejadian kemarin malam itu, masih terbayang dalam ingatan. Di dalam benak gue, gue bertanya-tanya apa benar cowo yang kemarin Nesa peluk itu Adam? Kalo benar iya begitu, berarti semalem dia menginap di rumah Nesa. Mungkinkah? Gue harus gimana ini. Hal yang terpenting sekarang gue harus fokus untuk lomba.

Gue sampai di rumah Ranggi pukul setengah tujuh pagi tadi. Gue langsung masuk ke dalam terlihat sepi, mungkin masih pada tidur. Sampai di kamarnya rupanya Rico, Sandi dan Ranggi masih tertidur pulas, gue menuju ke dapur untuk mencari sesuatu yang bermanfaat.

Gue kembali ke kamar, tapi kini gue bawa sambel coet ala Bu Ranggi yang baru dibuat tadi pagi. Gue olesi ke sekitar mulut mereka dengan menggunakan kuas kecil yang gue ambil dari kotak pensil adiknya Ranggi.

Sambil menunggu reaksinya, gue menunggu di ruang tamu sambil mengecek kembali peralatan dan hal yang lainnya.

Beberapa menit kemudian.

"Aaarrrggggghhhh!!! Panas bangsat!," Tiba-tiba seseorang teriak dari dalam kamar. Bagi gue udah gak asing itu suara, pasti suara Rico.

"Mampus!," batin gue tersenyum licik sumringah.

"Aaahhhhhhhh kok panas sih cin," teriak seseorang kali ini bukan Rico, tapi Sandi. Gue sedikit menahan ketawa.

"Bangsaaaat! Panas kali ini mulutku! Tak bisa cakap lah aku," tak salah lagi itu yang terakhir. Suara Ranggi."

Mereka bertiga keluar dari kamar secara bersamaan menuju kamar mandi. Terdengar sampai luar ocehan mereka bertiga yang berebutan untuk membasuh mulutnya. Orang pertama yang keluar dari kamar mandi Rico kemudian Ranggi lalu Sandi. Mereka bertiga kemudian duduk di sofa depan gue.

"Heh, Sa. Kapan lo sampe sini?," tanya Sandi.

"Duh bibir gue panas nih" gerutu Ranggi.

"Pasti ini kerjaan lo ya Sa?!" tanya Rico sambil meringkih memegang mulutnya.

"Mendingan salah satu dari lo, mandi deh gih!" gue tak mengubris Rico.

"Gue dulu yang mandi," kata Ranggi, kemudian ia berdiri. Berjalan menuju kamar mandi. Selanjutnya Rico kemudian Sandi.

Tak lama dari itu satu per satu mulai datang. Rudi datang membawa koper di belakangnya. Selang beberapa menit kemudian Faris dan Ridwan membawa perlengkapan pribadi dan dokumentasi.

Kini semuanya telah berkumpul. Tepat jam sembilan kami berangkat ke sekolah diantar oleh ayahnya Ranggi menggunakan mobil pribadi. Motor yang tadi kami bawa disimpan di garasi.

----***----

Di dalam mobil, gue duduk dibelakang ayahnya Ranggi yang sedang mengemudi laju mobil ini. Gue duduk didekat jendela, karena gue sangat suka melihat keluar sambil melamun, itulah favorit gue.

Di samping gue ada Rico, Ridwan dan Sandi. Sandi dan Ridwan duduk ditengah diantara gue dan Rico. Di depan, tepatnya disamping ayahnya Ranggi ada Ranggi dan Faris. Di bagasi tentunya peralatan kami yang siap untuk dimainkan di panggung nanti.

Sepanjang perjalanan kami terlihat di wajah yang lainnya begitu kaku, mungkin ini pertama kalinya kami mengikuti lomba festival band se-Jabar. Biasanya kami hanya manggung di acara sekolah atau pernah diundang juga ke sekolah-sekolah yang ada di Bandung. Tidak lebih dari itu.

----***----

Setibanya di sekolah banyak siswa yang berlalu lalang saat jam istirahat. Sekelompok orang yang kurang lebih dari sepuluh orang sedang berebut bola satu sama lain di lapangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang