8. Tantangan

6 0 0
                                    

Esoknya adalah hari Kamis tepat dimana sehari sebelum keberangkatan kami. Gue sama sekali belum tahu harus ngajak siapa, gue belum punya doi, kecengan pun tak ada. Gue panik campur kesal pada diri sendiri, mengapa trauma ini masih melekat padahal kenangan pahit itu sudah berlalu cukup lama.

Bayangan tentang dirinya telah tiada namun kenangan yang memaksa tuk mengingat kembali memori di masa kelam itu. Tak ada gunanya mengingat masa lalu, cukup dijadikan sebuah pelajaran untuk melanjutkan hari yang baru dan menulis cerita dan kenangan baru.

Minggu ini gue nulis artikel tentang persiapan Jones music untuk mengikuti lomba Festival Band di Bandung dan yang tak kalah menarik kami akan membawakan single pertama kami di acara puncak yaitu penutupan lomba dengan syarat kami harus masuk tiga besar kandidat juara.

Pada waktu pelajaran Pak Supratman, gue menulis sepucuk surat, bukan surat sih lebih tepatnya hanya kertas sobekan asal biasa. Awalnya gue iseng. Di surat itu gue nulis: Nes, sepulang sekolah makan ramen, yuk! Hehe.

Gue kasihin tuh surat ke Nesa yang duduk di samping gue, dia terima. Dia senyum, lalu dia membalas surat dari gue.

Katanya: boleh, tapi traktir.

Gue: traktirnya pake uang?

Nesa: jangan, pake kuah ramennya

Gue: aku mau level lima nanti, emang kuat?

Nesa: kalo gak kuat lambaikan tangan ke kamera

Gue: selfie dong?

Gue dan Nesa ketawa pelan. Rico dan Ranggi menengok ke belakang penasaran dengan kami, saling tatap curiga. Gue pura-pura gak liatin mereka, gue liat kedepan seakan sedang serius merhatiin Pak Supratman mengajar.

Sepulang sekolah yang seharusnya kumpul di basecamp, gue ijin terlambat dengan alasan disuruh pulang sama Bunda, padahal gue udah ada janji sama Nesa.

"Bro, gue agak telat ya ke basecamp-nya,"

"Yah kenapa Sa?," Rudi nanya.

"Tadi si Bunda nelpon nyuruh gue balik dulu bentar,"

"Oke deh, ntar jangan lupa nyusul ya, buat brifing besok juga," katanya.

Setelah itu Rico, Ranggi, Rudi dan Sandi pergi menggunakan sepeda motor. Gue balik lagi ke kelas karena ada yang ketinggalan. Iya Nesa yang ketinggalan. Tadi pas di kelas gue nyuruh Nesa untuk tunggu di depan kelas biar rencana gue berjalan dengan lancar.

"Yuk Nes," ujar gue.

Gue berjalan dengan Nesa menuju parkiran dimana tempat motor kesayangan beristirahat sekaligus nunggu gue belajar seharian. Di parkiran gue dipinjem helm Aris.

"Sini naik Nes," ajak gue.

"Kamu naik motor aja, aku jalan gimana?,"

"Takut pacar kamu marah ya?," tanya gue hati-hati, biasanya cewe suka sensitif kalo ditanya soal beginian.

"Haha! Kamu ngeledek aku ya, Sa?," dia mencubit lengan kanan lalu duduk di belakang gue.

"Mau pake helm gak?,"

"Gak usah nanti ditilang sama polisi,"

"Loh, kok?," gue bingung.

"Takut dilamar sama polisinya,"

"Bagus dong, masa depan bisa cerah,"

"Gelap lah,"

"Kenapa?,"

"Udah tua,"

"Hahaha"

Gue tancap gas lalu gue pacu untuk bisa melaju ke aspal jalan. Di jalan Nesa pegangan di sabuk pinggang gue. Gue agak risih sih, tapi mau. Bukannya mencari kesampatan dalam kesempitan, bukannya modus pula melainkan itu sudah seharusnya.

NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang