Waktu sekolah pun berakhir, seluruh siswa - siswi berhamburan keluar termasuk Agatha dan Lara. Tidak ada lagi canggung atau perang dingin diantara mereka, bahkan kini kelingking mereka bertautan, sebuah hal yang mungkin tidak pernah terfikirkan sebelumnya.
Sepanjang perjalanan, lagi - lagi tak ada satu katapun terucap sampai sang putri es buka suara
"Hey, apakah besok kamu ada kegiatan?"
Agatha mengangkat alisnya, heran "Tidak? Ada apa?"
"Uhm kamu tahu, ada pesta dansa besok?"
"Oh... Kamu ingin mengajakku kencan?"
Lara tak langsung meresponnya, pipinya kini memerah, malu karena maksudnya terpapar begitu saja.
"Iya" Jawabnya singkat, sebenarnya tidak juga. Seluruh anggota keluarga Lara ataupun Agatha pasti berada disana, ini pesta yang diadakan setiap bulan.
"Okay, dengan senang hati"
Wanita bermata biru itu tak mampu lagi menahan senyumnya, sepanjang perjalanan yang ia lakukan hanyalah tersenyum. Agatha yang melihat itupun ikut tersenyum, tidak ada yang lebih indah daripada senyuman anak sulung keluarga De Witt, bahkan ia dapat menjamin anggota keluarganya sangat jarang melihat anak gadisnya tersenyum begitu cerahnya.
Mereka kini sudah diujung jalan, Agatha melirik ke kanan dan kiri memastikan keadaan aman, tak sampai sekian detik, bibirnya menempel di pipi Lara, dan ia langsung pergi menjauh.
Lara yang menerima itu diam mematung, tak percaya bahwa orang yang kemarin - kemarin memakinya, baru saja mencium pipinya.
***
Sara melihat ada yang salah dari kakaknya. Lara jarang sekali tersenyum lebar, bahkan saat dia memiliki kekasih sekalipun, tapi kini tak ada sedetikpun ia memasang ekspresi datar yang biasa ia kenakan.
"Lara, apakah kamu baik - baik saja?"
"Sangat baik"
"....oke? Baiklah"
"Jangan khawatirkan aku. Aku bahagia" Setelah racauan ambigu itu, Lara pun langsung pergi ke kamarnya meninggalkan adiknya yang bingung. Petang baru saja menyapa, tapi dia sudah sibuk menyiapkan baju terbaiknya.
Bukan Sara namanya jika ia tidak ingin tahu apa yang kakaknya sedang lakukan "Lara, apakah aku boleh masuk?" tanya Sara dari balik pintu.
"Masuk"
Sara mendengar itu langsung membuka pintu kamar Sara, namun ia tidak berkata apapun, apalagi saat melihat Lara yang kelihatannya sedang sibuk
"Sara, hijau atau putih?"
"putih"
"satin atau sutra?"
"sutra"
"kalung atau cincin?"
"cincin"
"oke terimakasih"
"Lara, apakah kamu akan berkencan?" pertanyaan dari Sara langsung membuat Lara menghentikan aktifitasnya, ia menarik nafas dan menjawabnya
"Aku ingin terlihat cantik, besok acara pertama kita setelah pindah dari Belanda. Kamu harus berdandan juga"
"Oh, baik.. aku mengerti, aku juga akan menyiapkan bajuku"
Sesungguhnya yang tadi hanya alasan
***
Baik Lara, Sara maupun Tuan dan Nyonya De Witt kini tengah sibuk mempersiapkan diri untuk menghadiri pesta yang diadakan secara rutin di Bandung. Ini kali pertama mereka menghadiri pesta tersebut, tentu mereka ingin memberikan yang terbaik, khususnya Lara.
Kain sutra begitu apik membalut tubuhnya yang semampai dan tegak, polesan makeup tipis dengan sentuhan bibir yang merona menambahkan ketegasan pada wajahnya. Lara sangat mendefinisikan perempuan yang beranjak dewasa dan modern pada zamannya
Gelapnya hari mulai menyapa, orang - orang kini tengah berkumpul di sebuah ruangan yang sangat besar dan juga megah. Para tuan - tuan dan nyonya - nyonya pun kini sibuk bercengkrama, begitu juga anak - anak mereka, kecuali Lara, ia sibuk mencari sesuatu... lebih tepatnya seseorang.
Akhirnya Lara mendapatkan apa yang ia cari. Agatha tengah berdiri di dekat pintu, mengenakan gaun yang memaksimalkan kadar kecantikkannya yang khas campuran Asia Timur dan Eropa. Langsung Lara jalan menghampirinya
"Hey" Sapa Agatha yang menyadari kehadiran Lara
"Hello, aku mau bicara" Kata Lara to the point, ia sedikit tidak suka dengan keberadaan pria yang sebelumnya sedang mengobrol dengan Agatha
"Apakah anda Lara De Witt?" tanya pria tersebut
"Iyaa"
"Perkenalkan, saya Kapten Daan Meijer, teman saya sering bercerita tentang anda, Kapten Helwing, Abner Helwing"
"Okay.. boleh kami permisi? Ada yang harus kami bicarakan"
Kapten Meijer dengan canggung langsung mempersilahkan dua wanita itu pergi menjauh.
"Aku belum bilang, kamu sangat cantik malam ini" puji Lara pada Agatha tanpa melirik ataupun menatapnya, mereka masih berjalan menuju sisi barat bangunan, dimana terdapat pohon - pohon rimbun disana, pencahayaan yang lumayan redup dan juga sepi.
"Kamu bilang aku cantik, tapi tidak menatap atau melirikku sama sekali, Lara"
Merekapun sampai pada tujuan, Lara segera menatap Agatha dengan intense
"Sekarang aku menatapmu"
"ulangi?"
"kamu sangat cantik malam ini, kamu selalu cantik, tapi malam ini sangat cantik"
Kini giliran Agatha yang tak berani menatap Lara. Ia tersipu dan memalingkan wajahnya, malu, senang dan nervous. Dengan lembut jemari Lara membelai wajah Agatha, mau tak mau wanita berparas agak oriental itu menatap wanita tinggi dihadapannya.
"Lara.. soal makianku waktu itu, maaf"
"Tidak papa, aku memahaminya"
"Ik wil dat je me kust" (I want you to kiss me)
Pernyataan Agatha membuat Lara menaikkan alisnya, terkejut.
"Één kus of twee?" (One kiss or two?)
"Sesukamu, tapi hati - hati" Kata Agatha seiring mendekatkan dirinya pada Lara sambil melirik kesana dan kemari memastikan keadaannya aman. Kecupan lembut dengan sedikit lumatan terjadi, waktunya singkat, namun mereka berdua tau keinginan lebih dari itu.
Hembusan nafas keduanya masih menyatu, senyuman terpatri masing - masing bibir mereka. "Satu dulu ya, nanti lagi"
"Ik heb vlinders in mijn buik." (Ada kupu - kupu di perutku)
"ahahah mereka juga ada di perutku"
"terlalu cepatkah jika aku bilang bahwa aku mencintaimu?"
"Sepertinya iya, tapi aku juga mencintaimu. Lucu, setelah kau memakiku bukannya membencimu, kamu malah memenuhi pikiranku setiap hari dan aku mengharapkan hangatmu kembali"
Malam itu merupakan malam yang singkat namun begitu berkesan untuk Lara dan Agatha yang kini berdamai dengan perasaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARA
Historical FictionLara De Witt tidak pernah menyangka bahwa ia akan menginjakkan kaki di tempat yang sangat jauh dari kota kelahirannya, ia juga tidak pernah mengerti apa yang ia rasakan pada saat ia menginjakkan kaki di Kota Bandung. Marah dan Sedih, hal itu sudah p...