Kening Agatha berkerut "Kamu bertanya atau memerintahku?"
"Memerintah, aku tidak mau bertanya"
"Ih, menyebalkan"
"Kamu tidak mau? Geen problem(No Problem)" Kata Lara menaikkan bahunya, sedangkan Agatha hanya menatapnya tidak percaya, entah dia bercanda atau serius. Ternyata mau dengan cara apapun wanita di hadapannya mengatakan ini dan itu tentang perasaannya, sosok dingin dan angkuhnya masih ada dan tidak akan terbuang, ini akan menjadi catatan khusus dari Agatha untuk Lara.
"Hubungan ini antara dua orang dan ada timbal balik, walau kamu tahu pasti perasaanku padamu, setidaknya tanya aku. Aku tahu kamu terbiasa dikejar dan dapat memilih siapapun yang ingin kamu jadikan pacar, karena banyak laki - laki tergila - gila padamu, tapi aku bukan mereka" Agatha pun menghela nafasnya
"Yasudah, silakan bersih - bersih. Aku akan menunggumu dibawah" dan begitu saja, Agatha langsung keluar kamar meninggalkan Lara yang masih terdiam dan berfikir.
Agatha ingin sekali meninju sesuatu, ia menuruni tangga dengan sedikit menyentak langkah - langkahnya, dan hal itu disadari oleh Abner. "Agatha, hi!" Sapa Abner. Sesungguhnya kehadiran Abner dengan senyuman lebar dan ramahnya tidak lah membantu meredakan kekesalannya malah semakin bertambah.
"Ada apa? Kenapa wajahmu masam? Apakah ada masalah?"
"Abner, stop, aku tidak ingin membicarakan apa - apa"
"Oh... okay" Cicit Abner sambil menunduk dan melirik takut - takut pada Agatha yang sedang buruk moodnya.
Selang beberapa menit, Larapun turun, ia langsung di sambut dengan wajah masam Agatha yang kini sedang duduk di samping Abner.
"Lara! Nyonya Van Der Linden menunggu kita di ruang makan, ayo Agatha"
Mata sipit Agatha hanya menatap sinis Abner dan Lara, ia berjalan melewati kedua orang yang merupakan tamunya.
"Angkuh sekali" Gumam Abner, Lara hanya mendelik pada Abner mengisyaratkan laki - laki itu untuk diam. Sebenarnya ia merasa bersalah karena Agatha begitu karena dirinya yang masih saja membawa sifat angkuhnya setiap hari, entah.. Dia tidak akan menyangka jika Agatha akan marah, padahal dulu jika di ingat kembali, seberapa angkuhnya Lara bersikap, Agatha tetap saja berbicara dengannya? Apa sekarang Agatha sedang mengalami Mood Swing? Lara tidak tahu.
Sesampainya mereka di ruang makan, mereka disambut oleh banyaknya makanan lezat yang telah di hidangkan oleh pelayan - pelayan kediaman Van Der Linden.
"Lara, kamu sudah berapa lama dengan Abner?" Tanya Nyonya Van Der Linden pada Lara. Lara agak terkejut dengan pertanyaan itu namun ia berusaha untuk mejawabnya "Tidak, saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Abner. Dia hanya dekat dengan Papa saya" Sedangkan Agatha dia hanya fokus dengan makanannya, tidak tertarik dengan perbincangan yang sedang terjadi walaupun sebenarnya ia juga memasang telinganya.
"Oh ya Tuhan, maaf jika pertanyaan saya terdengar tidak sopan, saya kira kalian berpacaran. Karena biasanya teman - teman sejawat Abner yang membawa wanita untuk mampir kesini pasti merupakan pacarnya."
"Tidak papa, saya mengerti. Saya ikut Abner karena kebetulan ingin bertemu Agatha, saya ingin menghabiskan akhir pekan ini dengan Agatha. Saya hampir tidak pernah punya teman, beruntungnya saya bisa mengenal Agatha" 80% kejujuran sisanya dusta pemanis. Mendengar kata - kata Lara, timbul setitik kecurigaan di benak Abner namun ia segera menepisnya, dan Agatha hanya diam namun semburat merah tak dapat bersembunyi lagi di balik pipinya. Fokus pada makanan adalah satu - satunya cara yang ia tahu untuk menghindari salah tingkah.
"Agatha? kamu demam?" Tanya ibunya saat melihat wajah Agatha yang tiba - tiba memerah.
"Huh?"
Nyonya Van Der Linden langsung memegang pipi dan kening Agatha, memeriksa keadaannya. Agatha pun gelagapan "Nee mama, a-aku hanya sedikit merasa gerah, tidak papa" Lara hanya tersenyum melihat tingkah Agatha dan melanjutkan makannya.
Bagaimana dengan Abner? Dia sibuk dengan pikirannya sendiri.
***
Waktu untuk beristirahat pun datang, tidak ada percakapan berarti di antara Lara dan Agatha. Mereka hanya beraktifitas sendiri - sendiri di satu tempat yang sama yaitu kamar Agatha. Namun, akhirnya Lara berhasil menurunkan sifat angkuhnya dan menghampiri Agatha yang kini sedang duduk di depan meja riasnya.
Larapun memeluknya dari belakang, meletakkan dagunya diatas kepala Agatha yang masih mengenakan ekspresi datarnya. Ia menatap perempuan cantik itu lewat pantulan cermin dihadapannya.
"Maaf..."
"Untuk apa?" Masih saja Agatha berusaha mempertahankan ekpresi datarnya yang kini terlihat tidak lagi alami. Karena sekarang sesungguhnya ia merasa ingin meleleh, berbalik dan membenamkan seluruhnya pada pelukan Lara.
"Aku terlalu angkuh untuk bertanya dan meminta kepadamu. Aku mecintaimu dan aku tidak ingin dengan orang lain. Aku merasa bahwa kamu harus menjadi milikku. Aku tahu itu bukan ungkapan yang baik, tapi rasanya jika bisa aku ingin memborgol tangan kita berdua dan membuang kuncinya. Itu perumpamaan yang gila, tapi perasaanku kepadamu membuatku pusing dan aku rasa aku mabuk, tapi tadi aku tidak minum alkohol. Jadi apakah kamu mau jadi kekasihku?" Lara berbicara lumayan cepat setengah bergumam tanpa melepaskan pandangannya kepada Agatha. Agatha yang mendengar pernyataan dan pertanyaannya akhirnya tertawa dengan begitu puas.
Lara yang melihat Agatha terbahak pun bingung dan juga sedikit tersinggung, ia malu karena sekarang dirinya terlihat bodoh. Tanpa kata - kata lain, Lara langsung menuju kasur yang juga akan digunakan Agatha untuk tidur, tanpa memperdulikan lagi pertanyaannya yang belum terjawab.
Agatha yang melihat itu pun perlahan mengahampiri Lara dan ikut berbaring. Kini gilirannya untuk memeluk Lara.
Urusan menjadi es, itu adalah kelihaian Lara. Namun wanita disampingnya berbisik begitu dekat dengan telinganya sehingga ia bisa merasakan hembusan nafas yang hangat dan membuat sekujur tubuhnya bergidik juga memanas diikuti dengan jari lentik Agatha menyusuri rahang Lara yang tajam, perlahan dan lembut
"Aku tidak bisa menolakmu. Aku harus menjadi kekasihmu. Aku bisa gila jika aku melihatmu berduaan bersama Abner dan memiliki kenyataan bahwa kamu bukan milikku."
Lara tidak tahan dengan itu semua, ia langsung beranjak dan menempatkan posisinya untuk menguasai Agatha, menghujamnya dengan kecupan dan pujaan yang diterima dengan senang hati oleh kekasih barunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARA
Historical FictionLara De Witt tidak pernah menyangka bahwa ia akan menginjakkan kaki di tempat yang sangat jauh dari kota kelahirannya, ia juga tidak pernah mengerti apa yang ia rasakan pada saat ia menginjakkan kaki di Kota Bandung. Marah dan Sedih, hal itu sudah p...