Lara bukanlah seorang yang terlalu taat menjalankan ibadah ataupun berdoa, namun entah mengapa, berdoa dan beribadah yang menjadi jalan satu - satunya untuk menenangkan hatinya untuk saat ini. Sara yang melihat perubahan kakaknya merasa heran sekaligus terharu karena akhirnya kakaknya mulai menjalankan proses ibadah yang tadinya selalu saja ia tinggalkan.
Sara sesekali melirik kakaknya yang tengah terpejam dan bersedekap tangan, berdoa. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahu Lara bergetar seperti orang menahan tangis. Rasa sayang, sedih, dan empatinya sebagai seorang adik tercampur menjadi satu, bertanya - tanya apa yang terjadi? Apa yang menyayat hati kakaknya yang sehari - hari terlihat beku? Ingin sekali Sara memeluknya tapi ia kini sedang ditengah - tengah misa.
Ibadah minggu pun selesai. Lara bersama keluarganya melakukan kegiatan seperti biasa, yaitu bersantai dan bercengkrama dengan keluarga lain di sebuah taman yang berada di sebrang gereja. Tentu saja disitu ada Agatha dan Tuan Nyonya Van Der Linden yang juga baru menyelesaikan ibadah minggu di Gereja yang sama.
"Agatha!" Panggil Sara, mendengar adiknya menyebut nama itu, wajah Lara memucat. Ia tidak tahu harus berbicara apa jika sewaktu - waktu adiknya menariknya untuk bergabung dalam sebuah percakapan yang tidak ingin ia lakukan, karena seperti biasa, para orang tua kini sudah tenggelam dalam obrolan mereka sendiri.
"Hai Sara, hai Lara!" Diam seribu bahasa adalah hal yang paling ampuh untuk Lara saat ini. Seperti dugaannya, Sara menarik tangannya, berjalan menuju wanita yang kini mengisi pikiran dan hatinya. "Selamat hari minggu untuk kita semua!" Ujar Sara dengan segala aura gembiranya, berbanding terbalik dengan sang kakak.
"Ah iya! Selamat hari minggu juga! Tadi khotbah dari papa sangat menyentuh hatiku. Aku jarang sekali mendengar papa berkhotbah tentang cinta dan pasangan" kata Agatha, "Di Belanda juga jarang, bahkan Lara sampai menahan tangis, entah apa yang ia pikirkan?" sindir Sara pada,
"Dasar comel" Omel Lara dalam hati, namun ia tetap tidak bergeming
"Oh, mungkin karena ia rindu kekasihnya di Belanda?"
"Cukup Sara! Jangan mulai!" Bentak Lara pada adiknya, seperti yang kita tahu, apa yang dikatakan Sara tidak benar. Keadaan pun terasa semakin tidak nyaman. Agatha yang mendengar percakapan kakak beradik itu hanya diam, tatapannya tertuju pada Lara yang kini tak sedetikpun meliriknya, ia tahu, apa yang dimaksud Sara. Perasaan bersalah menyeruak dibenak Agatha, dan kini ia kehilangan kendalinya untuk tidak mengakui bahwa perasaannya tertuju pada Lara.
Dia lepas kendali.
***
Pada pagi yang cukup cerah, siswa - siswi HBS masih berlalu lalang di koridor, karena kegiatan belajar mengajar belum dimulai. Perhatian lagi - lagi tertuju pada Lara, biasanya ia akan diantar oleh pengemudi ayahnya, namun kini ia diantar oleh Kapten tampan yang beberapa hari lalu juga menjemputnya di sekolah, Abner. Cocok, itulah 1 kata yang paling pantas untuk mendeskripsikan keduanya. Agatha berusaha acuh dengan apa yang ia lihat, dan segera duduk dikursinya, tepat dibelakang Lara.
Marah dan sedih, itulah yang ia rasakan setiap melihat Lara bersama dengan lelaki itu. Entah, apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan perasaannya yang menurutnya, tidak normal. Bahkan kini ia tidak dapat berkonsentrasi, dan apapun yang dikatakan oleh gurunya didepan kelas, sama sekali tidak ia dengarkan, ia sibuk dengan perasaan kesalnnya.
"Agatha, coba jelaskan ulang apa yang tadi ibu sampaikan" ujar gurunya, Frau Antje.
Sebuah perintah yang tidak seorang siswa atau siswi inginkan, menjelaskan ulang. Agatha hanya diam, duduk tegak, namun tak berani menatap mata gurunya. Lara hanya diam, namun khawatir, apa yag sedang terjadi dibalik punggungnya. Namun, ia terlalu kecewa untuk menunjukkan khawatir dan iba-nya.
"Cepat! Kalau kamu tidak menjelaskannya, saya akan mencatatnya dan memberikan laporan tersebut kepada kepala sekolah"
"Agatha sedang sakit, Frau"
Rupanya Lara tidak tahan.
"Kami satu gereja, dan dari kemarin ia sudah terlihat pucat, kurang sehat"
Bohong, Lara lah yang terlihat pucat kemarin. Agatha yang mendengar itu tidak sedikitpun merasa lega, namun lebih takut dan kini, jantungnya berdegub lebih kencang berkali - kali lipat.
"Kalau begitu tolong temani Agatha ke ruang kesehatan."
Wanita ber-rambut pirang itupun langsung berdiri, berbalik meraih tangan Agatha yang kini benar - benar terlihat seperti orang sakit. Sepanjang perjalanan menuju ruang kesehatan sekolah, tak ada satu patah katapun yang terucap dari bibir keduanya, namun tangan mereka masih bertaut, tak berniat untuk lepas.
Sesampainya mereka pada ruang kesehatan, mereka disambut oleh suster yang berjaga. Selagi sang suster melakukan pemeriksaan, Lara tidak beranjak dari sisi Agatha. Sedangkan Agatha, ia berusaha untuk mengontrol detak jantungnya, namun usahanya gagal.
"Kenapa degub jantungmu kencang sekali? Ada masalah kah dengan pernafasanmu?"
"Tidak, sebelum saya masuk ruangan, saya tersandung, terkejut dan hampir jatuh" Alasan Agatha membuat Lara sedikit menarik bibirnya, namun seperti biasa, senyum cantiknya selalu tertahan.
"Atur nafasmu, jangan terlalu banyak melakukan hal yang ceroboh dan membuatmu terkejut. Kamu masih muda, minum teh yang telah saya siapkan, istirahat saja. Saya tinggal dulu"
"Terimakasih banyak"
Sesaat suster itu pergi, suasanapun menjadi hening. Lara tak lagi hanya ingin tersenyum, namun dia ingin tertawa, karena alasan bodoh yang diutarakan oleh Agatha.
"Tertawa saja, jangan ditahan" sindir Agatha.
Tawa yang paling cantik, lepas juga cerah hari ini ditampilkan oleh Lara, si batu es...
dan Agatha sangat bersyukur dapat melihat itu.
Catatan :
Panggilan Papa yang dimaksud dalam bagian ini adalah pastur/pendeta
KAMU SEDANG MEMBACA
LARA
Fiksi SejarahLara De Witt tidak pernah menyangka bahwa ia akan menginjakkan kaki di tempat yang sangat jauh dari kota kelahirannya, ia juga tidak pernah mengerti apa yang ia rasakan pada saat ia menginjakkan kaki di Kota Bandung. Marah dan Sedih, hal itu sudah p...