Syifa Sakit

1.7K 208 19
                                    

Sakit itu mengajarkan kita untuk bersabar. Ada sehat, ada pula sakit yang pastinya kita rasakan. Semua saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan yang saling melengkapi. Namun, apakah bisa, aku dan kamu saling bersatu dan mengukir kisah indah layaknya kisah cinta Baginda Rasulullah dan Aisyah?
~Syifa.

***

Perlahan mata ini terbuka dan menyesuaikan cahaya yang memasuki retina. Kepala ini masih berdenyut dan menyisakan sakit yang sungguh tidak mengenakkan.

"Sayang, syukurlah kamu sudah bangun," ucap Bunda dengan berlinang air mata.

Bunda, mengapa bunda menangis? Syifa tak kuasa melihat air mata itu. Syifa rapuh! Ingin sekali menghapus setiap air mata yang membasahi wajah yang tak muda lagi itu. Cukup keringat yang bercucuran menemani Bunda dalam sulitnya mendidik Syifa. Jangan air mata! Syifa mohon.

"Air," ucapku yang masih lemah.

Bunda dengan sigap mengambil segelas air yang memang sudah ada di nakas. Bi Asih juga membantu diriku untuk merubah posisi, dari berbaring menjadi duduk.
Aku meminumnya hingga habis. Lega rasanya. Alhamdulillah.

"Syifa kenapa, Bunda?"

"Kamu pingsan tadi," ucap seseorang yang sangat aku kenali.

Aku pun menoleh, Dito memandang ke arahku dengan raut wajah seperti orang khawatir. Dia mengkhawatirkan diriku? Entahlah. Seketika pikiranku tertuju pada kejadian saat di sekolah tadi, sebelum tiba-tiba jatuh pingsan.

Flashback on

Dito mengejarku sembari berteriak memanggil namaku. Sudah cukup dia mengatakan nyaman dengan diri ini. Jangan sampai kata suka juga ia lontarkan! Hati ini bergejolak menerima gelombang yang nyatanya sangat dahsyat itu. Jika boleh jujur, Syifa juga sudah nyaman dengan Dito. Rasa lain juga hadir dalam diri ini. Rasa yang selalu aku sangkal. Rasa yang sekaligus mampu membuat diri ini frustasi.

"Syifa, berhenti atau aku peluk!"

Aku langsung menghentikan langkah ini. Aku tahu dia tak pernah main-main dalam ucapannya. Langsung saja ia sudah berada di hadapanku. Menatap diri ini dengan sendu. Seketika pilu menyeruak di ulu hati. Mata yang seharusnya tak boleh aku tatap. Wajah tampannya yang seharusnya tak boleh aku pandang. Dan, dia yang seharusnya tak memasuki hati ini.

"Kenapa?" tanyaku padanya.

"Kamu yang kenapa?" dia balik bertanya dan aku tak tahu harus menjawab apa.
Hanya bisa menggeleng pelan sembari menunduk. Air mata pun sedari tadi sudah menemani diri ini.

"Tidak apa-apa!"

"Bohong!" sergah dia sembari menatap tajam padaku.

"Aku benar-benar tidak berbohong." Entah harus bagaimana lagi diri ini menjelaskan padanya?

"Nyatanya kamu berbohong! Lihat aku! Tatap mata ini!"

Dia memegang kedua tangan ini. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk melepas genggaman itu. Ini salah! Benar-benar salah! Namun, aku tak kuasa melepas genggaman itu.

"Ini salah! Hiks ...."

Aku menangis pilu meratapi nasib yang tak berujung ini. Jujur saja, aku mencintainya. Sangat, sangat mencintai dia. Dia yang bahkan baru aku kenal. Menorehkan ribuan gelombang asmara yang sulit tuk diri ini hindari.

Cinta Beda Agama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang