Jika memang kau tak tercipta untukku, maka aku hanya bisa mencoba ikhlas. Dia mungkin lebih pantas untukmu. Aku memang hanyalah semilir angin lalu bagimu. Yang pernah kau rasakan kehadirannya dan berlalu begitu saja meninggalkan jejak.
~Syifa***
Setiap memikirkan dia, air mata ini akan jatuh begitu saja. Aku menatap ke arah jendela mobil sembari mengusap pelan air mata ini. Beralih ke arah lain hanya untuk meletakkan sapu tangan milik Hafiz ke dalam tas.
Hatiku rapuh ditemani oleh sejuta rasa sakit. Sakitnya tengah menyeruak di ulu hati. Namanya selalu terngiang dalam ingatan. Wajahnya yang rupawan selalu terbesit dalam bayangan. Dia yang pernah mengisi relung hati ini. Dia yang selalu ada dalam ingatan. Dia yang nyatanya sudah berlalu seperti angin lalu.
Pergilah bersama dengan kenangan indah itu! Tinggalkan aku sendiri yang meratapi nasib yang tak berkeujungan. Kamu adalah bukti. Kamu ada dan kini pergi menyisakan luka. Luka yang nyatanya tak ada penangkalnya selain kata, Laa Tahzan (janganlah bersedih).
Hanyut dalam lautan pikiran, hingga membuat diriku tak sadar, bila aku telah sampai di halaman rumah. Aku segera membuka pintu mobil dan langsung berlari memasuki rumah. Maaf ... untuk hari ini biarkan diriku menjadi orang yang angkuh, karena sama sekali tak menyapa Pak Ruslan, sopir pribadi keluargaku.
"Assalamualaikum, Bunda." Aku langsung menghambur pada Bunda yang kebetulan tengah bersantai di ruang tamu.
"Waalaikumsalam, sayang." Bunda pun balas memeluk diriku dengan eratnya.
Aku kembali menangis dalam pelukan Bunda. Seakan mengadu pada wanita paruh baya ini yang sudah menjadi malaikat kehidupan penyemangat diriku. Menangis sepertinya memang bukan solusi, tapi terkadang mampu menenangkan suasana hati ini.
"Kenapa menangis, sayang?" tanya Bunda sembari mengelus kepalaku yang masih tertutup jilbab sekolah.
"Kenapa sesakit ini mencintai Dito? Syifa sudah menjauh, tapi itu lebih menyakitkan," keluhku pada Bunda.
"Syifa. Ceritakan semuanya, sayang! Bunda akan menjadi pendengar hebat buat Syifa." Bunda tersenyum sembari menangkup wajahku ini yang masih berderai air mata.
"Syifa sudah menyuruh Dito menjauh. Perlakuan Dito pun berubah terhadap Syifa, hiks ...."
Aku menceritakan segala keluh kesalku pada Bunda. Bunda yang selalu membuat aku nyaman dan tenang bila didekatnya.
"Lalu?" tanya Bunda penasaran dengan kelanjutan ceritaku.
"Syifa merasa terluka atas perubahan sikap Dito. Terlebih, hati Syifa sakit kala melihat Dito menggenggam erat tangan siswi lain."
Sabarku adalah obat yang ampuh. Namun, sedihku selalu menghalangi kesabaranku. Air mata selalu berlomba-lomba berjatuhan, seperti lagu lama yang mendamba berjuta lirik indah yang tersimpan.
"Syifa, terkadang mencintai seseorang itu memang menyakitkan. Tapi, asal Syifa tahu, mencintai dalam doa di sepertiga malam adalah rasa cinta yang benar. Sebut dia dalam doa Syifa. Terkadang pula, cinta tak harus saling memiki."
Benar, kata Bunda! Cinta tak harus saling memiliki. Ikhlas juga bukan berarti rela. Namun, rela sudah pasti ikhlas. Syifa harus rela, bila Dito mencintai orang lain. Dia untuk dito. Entah siapa namanya, Syifa tak tahu akan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Beda Agama [END]
Roman pour AdolescentsNyatanya rasa yang pernah ada harus berangsur-angsung pudar ditelan oleh kenyataan. Pada dasarnya, aku dan kamu takkan pernah bisa menjadi kita. Ingin mengukir kisah ini dalam diam. Menyebut namamu dalam doa. Meyakinkan hati, bahwa mencintai bukan b...