Aku ingin marah, tapi entah apa sebabnya? Aku ingin menangis, tapi entah karena apa?
~Syifa***
Semilir angin sejuk menyapa dengan damai.
Kicauan burung Kutilang seakan menambah kesan damai.
Mencoba tersenyum dan melupakan tangisan.
Belajar move on dengan air mata itu seperti belajar meninggalkan jejak.
Ingin menjeda rasa yang pernah ada dengan menyelipkan lembaran baru.
Menutup mata sejenak dan menghilangkan beribu kisah klasik yang pernah ia ciptakan.
Salam manis untuk hari ini.
Syifa Az-Zahra.Aku tersenyum kala hasil karyaku terukir indah dalam buku diary yang baru saja aku beli. Terlihat bahagia itu sederhana juga 'kan, ya? Tersenyum saja nyatanya sudah mendefinisikan kata bahagia.
Aku bangkit dan perlahan meninggalkan taman belakang sekolah yang sedari pagi buta tadi aku singgahi. Sebentar lagi mata pelajaran akan dimulai. Aku bersenandung pelan sembari berjalan santai menuju kelas. Tiba-tiba saja, langkah kaki ini harus berhenti begitu saja. Senyuman yang bahkan baru saja aku banggakan nyatanya kini luntur kembali.
Dadaku terasa sesak kala melihat Dito dan Aruna sedang bercanda gurau di depan kelas. Mungkin saja itu kelas mereka. Bahkan, bodohnya diriku, selama masih bersama Dito lalu sedetik saja tak terbesit olehku untuk menanyakan dia mendiami kelas mana. Apa aku se-egois itu? Dan kini, mengapa semuanya terkesan suram?
Aku tak pernah tahu semua tentang Dito. Yang aku tahu dari dirinya hanyalah satu, yaitu namanya saja, Dito. Selebihnya, aku terlalu acuh. Hingga keacuhan ini nyatanya menumbuhkan rasa sakit yang berkepanjangan.
Aku harus bisa! Walau nyatanya, rasanya aku ingin teriak dan marah yang entah apa sebabnya. Tak suka dengan kedekatan mereka. Ingin sekali aku berada di tengah mereka. Namun, sebisa mungkin akal sehat ini aku kontrol.
Perlahan, tapi pasti. Aku kembali melanjutkan perjalananku melewati mereka. Karena, hanya itu satu-satunya jalan yang menghubungkan kelasku.
"Syifa ...." sapa Aruna yang sontak membuatku menegang.
Aku menengok ke arah mereka berdua. Aruna tengah menyambut diriku dengan senyuman yang menawan. Sementara Dito, ia langsung saja membuang muka. Sungguh, ingin sekali bibir ini menyapa dia.
"Halo ... Aruna," ucapku dengan ramah.
"Iya, Syifa. Dito ... ayo sapa Syifa!"
"Panggil aku sayang, baby. Kamu itu lupa apa pura-pura lupa, hm?"
Dito mencubit pelan hidung Aruna. Aruna pun hanya tersipu malu. Astaghfirullah. Seperti inikah rasanya menjadi obat nyamuk? Ingin marah, tapi pada siapa? Ingin berteriak, tapi takut disangka orang gila. Serba salah. Serba sakit.
"A--aku pamit dulu," ucapku yang semakin tak tahan dengan kemesraan mereka berdua.
"Tuh gara-gara kamu Syifa jadi pamit," ucap Aruna yang terdengar manja.
"Mau dia pamit, mau dia salto di depan kita, aku nggak peduli, ya."
Sudah cukup! Kesabaranku habis! Aku memang seperti atau bahkan memang sudah tak dianggap oleh Dito. Ah, rasanya aku ingin tertawa, setelah itu menangis kencang. Memang siapa diriku bagi Dito? Apa aku terlalu berharap untuk saat ini? Jika iya, maka tolong selamatkan jiwaku yang mudah rapuh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Beda Agama [END]
Fiksi RemajaNyatanya rasa yang pernah ada harus berangsur-angsung pudar ditelan oleh kenyataan. Pada dasarnya, aku dan kamu takkan pernah bisa menjadi kita. Ingin mengukir kisah ini dalam diam. Menyebut namamu dalam doa. Meyakinkan hati, bahwa mencintai bukan b...