Dia menjauh pergi dan itu menyakiti hatiku. Dia mendekat dengan yang lain dan itu semakin membuatku terluka.
~Syifa***
"Jangan menangis!"
Aku langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Hafiz langsung menyambut diriku dengan senyuman.
Kenapa berbeda rasanya? Kenapa bukan Dito yang datang? Rasanya diri ini kosong, tanpa kehadiran dia, tanpa senyumannya, dan juga tanpa suaranya."Tapi, Syifa ingin menangis," ucapku sembari menundukkan pandangan.
Aku berharap dia yang hadir saat ini. Menghapus air mata ini dengan suaranya, bukan dengan tangannya. Menghapus jarak yang aku ciptakan dengan kehadirannya. Menghapus rasa sakit dengan canda dan tawanya. Tapi, harusnya aku sadar, bahwa aku sendiri yang menciptakan rasa sakit ini.
Dia bagaikan candu yang menyeruak dan sudah memikat diriku. Dia bagaikan tetesan hujan yang sangat diharapkan kala musim kemarau menyapa. Dia adalah dia yang mampu membuat hati ini tahu apa arti dari sebuah perasaan. Rasa yang pernah ada nyatanya mampu menorehkan luka yang amat mendalam bagi diriku.
"Kamu menangis untuk apa, Syifa? Kepentingan dunia atau akhirat?" tanya Hafiz yang masih setia menemani aku.
Mengapa semakin sakit saja, setelah mendengar pertanyaan Hafiz? Lara yang diri ini rasakan ternyata hanya sebagian kecil dari permainan dunia yang fana ini. Harusnya aku tak menangis. Harusnya aku tak bersedih. Namun, aku tak pernah bisa menyangkal rasa sakit ini.
"Hafiz. Kenapa Syifa bodoh sekali? Syifa menangisi dia, hiks ...."
Mengapa diciptakannya sebuah perasaan, bila rasa itu nyatanya menyakitkan?
"Istighfar, Syifa!" perintah Hafiz kemudian.
Astaghfirullah Hal'adzim. Aku mengelus dada berkali-kali, berharap rasa sakit itu menghilang. Sementara Hafiz, ia mendudukkan dirinya di samping diriku dengan sedikit menjauh. Ia langsung saja mengeluarkan selembar kertas dan pena dari dalam tas sekolah miliknya.
"Hafiz, itu buat apa?" tanyaku penasaran sembari mengusap sisa air mata.
"Buat kamu," ucap Hafiz sembari menyodorkan kertas dan pena itu padaku.
"Buat Syifa?" tanyaku lagi untuk memastikan.
Dia menggangguk pelan dan aku langsung mengambil dua benda itu. Menatap dengan bingung kertas putih yang masih kosong itu. Selanjutnya aku hanya bisa mendengar perintah selanjutnya dari Hafiz.
"Tulislah, semua yang Syifa rasakan saat ini! Anggap saja itu sebagai bentuk curahan hati Syifa," ucap Hafiz yang membuat diriku langsung paham.
Oh Tuhan, aku bukanlah ahli surga ...
Aku menoleh pada Hafiz. Dia tengah memejamkan mata sembari bernyanyi. Air mata ini kembali mengalir. Dan, perlahan-lahan aku mulai mengukir tulisan demi tulisan sebagai curahan hati ini.
Dear Hati.
Jangan menangis!
Tetaplah kuat, walau kau sedang merasa sakit!
Selalu ingat Sang Pencipta, dan mengesampingkan urusan duniawi.Perlahan, tapi pasti. Rangkaian demi rangkaian kata telah diukir oleh pena bertinta biru itu. Memberi sedikit kelegaan di ulu hati.
Juga tak mampu menahan siksa neraka ...
Hafiz dengan setia menyanyikan lagu itu. Memberi kesan syahdu sekaligus damai di ulu hati. Walau nyatanya, liriknya sangat menyentuh, hingga air mata tak mau untuk sekedar berhenti sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Beda Agama [END]
Fiksi RemajaNyatanya rasa yang pernah ada harus berangsur-angsung pudar ditelan oleh kenyataan. Pada dasarnya, aku dan kamu takkan pernah bisa menjadi kita. Ingin mengukir kisah ini dalam diam. Menyebut namamu dalam doa. Meyakinkan hati, bahwa mencintai bukan b...