Jangan membenci seseorang tanpa sebab. Belajarlah memaafkan, itu lebih baik.
~Syifa***
"I love you ..."
Deg
Aku melihat Bunda menghentikan suapan sendoknya. Bunda memang tahu bila diriku mencintai Dito. Namun, beliau tak tahu bila Dito pula memiliki perasaan yang sama denganku.
Dito memang mulut ember! Kenapa ceroboh sekali? Aku takut Bunda marah dengan situasi ini."Apa maksud Dito, sih?" tanyaku dengan dinginnya.
Ingin marah, tapi harus senantiasa mengontrol emosi. Aku harus apa? Sungguh, aku ingin menangis saja. Kenapa juga sikap Dito seperti itu.
"Aduh. Maksudnya l lap you."
"Apa?"
"Ambilkan tisu itu buat lap,"
Enak sekali dia mempermainkan suasana. Sepertinya dia sengaja mempermainkan diri ini. Tingkat kekesalanku semakin menjadi. Namun, aku merasa lega saat melihat Bunda terkikik akibat ulah usil Dito.
Aku pun langsung menyodorkan sekotak tisu tanpa mau menoleh pada Dito. Tak lama kemudian, acara makan kami sudah selesai. Aku membantu Bunda mencuci piring, sedangkan Dito dengan setia menunggu di meja makan.
Setelah selesai mencuci piring, aku menghampiri Dito. Sadar akan keberadaanku, dia langsung tersenyum menatapku. Kenapa senyuman itu selalu manis, sih?
"Dito. Kamu nggak pulang?" tanyaku to the point.
"Mengusir?" tanya dia sembari menaik-turunkan alisnya.
Tidak! Sama sekali tidak bermaksud untuk mengusir. Tapi, masa iya, mau nginap di rumahku? Ini sudah semakin sore. Harusnya Dito tahu apa maksud diriku.
"Ini udah sore, Dito." Aku menatap tajam pada Dito.
"Iya-iya aku pulang. Bunda, Dito pulang dulu, ya." Dito menghampiri Bunda yang masih sibuk menata peralatan dapur.
"Kok cepet banget, Dito?" tanya Bunda yang sontak membuat diriku terheran.
"Udah diusir sama Syifa, tuh."
Astaga. Lagi-lagi Dito mau berulah. Bunda langsung menatap tajam padaku. Ini semua gara-gara Dito. Lihatlah! Dia mengerlingkan mata padaku. Demi apapun, bila sudah berada di samping Dito, maka kesabaran tengah diuji.
"Syifa. Jangan seperti itu terhadap Dito!"
Aku hanya menanggapi teguran Bunda dengan senyuman. Dito terkekeh pelan dan langsung merangkul pundak Bunda. Astaga, lancang sekali dia.
"Nggak papa, Bun. Dito pulang dulu, ya. Besok main lagi," ucap Dito yang langsung saja mencium pipi kiri Bunda.
"Maaf, Bun ... udah lancang," ucap Dito lagi.
Bunda tersenyum hangat dan langsung membelai wajah Dito.
"Tidak masalah, Dito. Anggap saja Bunda ini adalah Bunda Dito."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Beda Agama [END]
Genç KurguNyatanya rasa yang pernah ada harus berangsur-angsung pudar ditelan oleh kenyataan. Pada dasarnya, aku dan kamu takkan pernah bisa menjadi kita. Ingin mengukir kisah ini dalam diam. Menyebut namamu dalam doa. Meyakinkan hati, bahwa mencintai bukan b...