Hinata membuka matanya dengan pelan. Indera pendengarnya mendengarkan sebuah suara lembut yang mampu membuat jantungnya berdesir. Dan mulai melihat sekelilingnya. Sebuah hamparan Taman yang di penuhi mawar merah. Dahinya berdenyit ketika ia menangkap sosok yang beberapa jam lalu ia genggam potret.
Perlahan ia pun bangkit dan mulai berdiri. Melangkah pelan menuju sosok mungil itu. Dan mencoba mengamati surai yang sama dengannya. Hingga perlahan ia pun tersenyum. "Sumire..." gumannya pelan.
Dan ketika tawa renyah itu hadir. Seolah dunia Hinata berputar. Tanpa sadar ia menghentikan langkahnya. Menahan rasa bahagia yang mampu membuatnya tak bisa menopang tubuhnya. Bahkan untuk melangkah pun tak bisa ia lakukan. Ia pun terduduk. Menangkup kedua tangannya dan perlahan air matanya mengalir. Ia sadar semua yang ia lihat mungkin bunga tidurnya. Tapi jauh di dalam hatinya ia mengharapkannya lebih. "Kamisama...... aku benar benar ingin menggapainya!".
Perlahan sosok mungil pun menampakkan wajahnya pada Hinata. Ia tersenyum dan berbisik. "Okasan......"
Seketika tangisnya pun pecah. Satu kata yang mampu membuat Hinata merasa dunianya runtuh. Menyadari bodohnya ia menjadi sosok ibu yang buruk. Meninggalkan senyum manis dari peri kecilnya di Surga. Dan ia tak mampu lagi menahan tubuhnya untuk menatap wajah sosok mungil. Yang ia lakukan hanya menyembunyikan wajahnya di balik lututnya. Dan mengerahkan tangisnya yang tak bisa lagi ia bendung. Yah.... ia menyesalinya. Ia menyesal tak bisa memerankan menjadi ibu yang baik untuk putrinya. Dan ia menyesal karena sudah meninggalkannya tanpa memberinya sebuah ucapan selamat tinggal.
"Su......mi....re......!" Racau pelan Hinata dalam tidurnya. Sesekali ia tersendat menahan tangisnya. Dan air matanya mengalir pelan dari matanya yang masih tertutup rapat. Ia larut dalam bunga tidurnya yang terlampau bahagia. Hingga ia tak menyadari dua sosok yang sudah ada di samping ranjangnya.
"Paman Panda, kenapa Dia menangis?" Bisik pelan Sumire. Ia berdiri, sementara Gaara berjongkok. Memyamakan tingginya dengan Sumire dan mendekatkan dirinya pada Hinata.
Ia mengusap pelan surai indigo yang mulai basah.' Apakah kamu selalu seperti ini Hime?' Fikirnya dengan tatapan sendunya. Ia kembali menatap Sumire. "Dia masih merasakan kehilangan putrinya, Sumire. Untuk itu paman minta bantuan sama kamu. Agar dia tidak menangis lagi!".
Sumire mengangguk pelan. "Aku mengerti paman! Aku akan menolongnya. Tapi apa yang harus ku lakukan?" Ucapnya lirih namun pandangannya tak lepas pada Hinata.
"Kamu bisa menggantikan putrinya sebentar dan memanggilnya Okasan!"
Kedua alis Sumire saling bertautan. "Apa itu tidak apa apa paman!"
"Ah tentu saja tidak apa apa!"
"Lalu bagaimana dengan Okasanku yang di luar!"
"Ini hanya sementara. Okasanmu pasti mengerti!" Ia pun berdiri. Dan mulai memegang bahu Sumire. Membimbingnya untuk berdiri tepat di samping Hinata. "Nah sekarang tugasmu untuk membangunkannya!"
"Bagaimana caranya paman!".
"Usap pelan pipinya dan bisiklah dia dengan menyebut Okasan!"
Sumire mengangguk pelan. "Tapi paman aku belum tahu namanya!".
"Kau tak perlu tahu namanya. Cukup mengenalnya sebagai Peri Cantik!" Ucapnya pelan. "Kalau kau bisa membangunkannya. Kau akan melihat bola matanya yang indah sepeti mutiara. Dan semu pada pipinya sama seperti Tinkerbell!"
"Souka....."
"Hn!" Gaara mengangguk pelan.
Dan perlahan Sumire mengangkat tangannya. Menyentuh permukaan kulit pipi Hinata dengan pelan. Seolah kulit itu seperti sesuatu yang tak bisa ia jelaskan rasanya. Begitu lembut dan sangat halus. Melebihi kulitnya bahkan orang tua angkatnya. Dan ketika tangan mungil itu mengusap pelan air mata yang terus mengalir, membuatnya tercekat. Seperti ada rasa yang tak kasat mata yang mampu membuat hati polosnya merasa sakit. 'Bibi Peri Cantik, apakah kamu sesedih itu!' Gumanya pelan. Hingga perlahan wajahnya mendekat pada telinga Hinata. Dan meneguk ludahnya dengan kasar. Menyiapkan suara halusnya untuk membangunkan Hinata. "Okasan....." bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CDH Season 2
RomanceTerimakasih atas segala rasa yang telah kau beri. Karena rasa ini membuatku mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Seperti sebuah lirik lagu yang selalu kudengar. Jika kau ingin cinta, kau harus lalui rasa sakit. Jika kau ingin cinta, kau harus bela...