Menjadi sebagian

47 11 0
                                    

Februari 2015

Orang-orang percaya bahwa setiap orang lahir dan ada di dunia karna satu alasan. Lalu mereka akan tumbuh dan menemukan setidaknya satu alasan untuk terus bertahan hidup.

Tapi ucapan itu kelihatannya gak berlaku bagi saya.

Saya adalah bagian dari sebagian orang yang hidupnya gak punya tujuan, tanpa arah, gak tahu apa kemampuannya.

Saya gak pernah bisa melakukan sebuah pekerjaan dengan tepat dalam sekali kerja, ada saja yang harus diulang, ada saja yang harus diganti, ada saja yang jadi bahan salahan.

Saya selalu susah untuk sekedar buka tutup botol aqua, kalau gak tumpah ya muncrat sana muncrat sini. Makanya sering kali, kemana-mana bawa botol minum Tupperware sendiri yang tutup nya bisa di buka-tutup tanpa repot mutar yang ujungnya malah tumpah.

Dulu juga, saya selalu naik sepeda kalau mau pergi, -entah kemana saja.

Alasannya sederhana, karena saya gak bisa naik angkutan umum, mau itu angkot, metromini, taksi atau ojek.

Saya pernah salah naik jurusan angkot, ketiduran di metromini sampai kelewat pemberhentian dan harus mutar-mutar pas naik ojek.

Karena saya selalu gak tahu jalan pulang atau jalan yang biasa saya lewati kalau gak naik sepeda atau jalan kaki.

Saya juga selalu kikuk saat bertemu orang lain.

Saya selalu canggung bahkan untuk tersenyum, yang semakin dewasanya saya semakin tidak mau berkenalan dengan orang lain.

Karena saya takut.

Saya takut kalau gak sengaja ketemu mereka di jalan, saya harus nyapa mereka. Saya takut diabaikan, saya takut diajak bicara hal lain, saya takut basa-basi.

Karena saya emang gak pernah punya kemampuan seperti itu.

Kemampuan buat nyenengin orang lain dan bikin orang lain nyaman saat dekat dengan saya.

Saya masih terlalu muda saat itu, -mungkin umur enam belas saat Mama tiba-tiba pulang kerumah diantar oleh bapak-bapak petugas ambulans.

Mama pergi, selamanya.

Paginya mama bilang kalau akan pergi ke Surabaya, mengunjungi adiknya -tante saya yang baru saja melahirkan. Tapi nahas, Mama malah terlibat tabrakan yang sialnya merenggut nyawanya tanpa ampun.

Tanpa tanda,

tanpa perpisahan.

Menyisakan tangis,

tak ikhlas,

tapi tak berdaya.

Hari itu, isak tangis memenuhi rumah saya. Tetangga datang silih berganti, menangisi kepergian Mama, memeluk saya dan bicara sekumpulan kalimat penyemangat, bicara pada papa dan semakin banyak isak tangis tak percaya.

Kepergian yang tanpa tanda itu, rasanya menyakitkan. Kita dihadapkan pada kenyataan tapi sistem saraf dan nalar kita menolak membenarkan hal itu.

EpiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang