Sabtu bersama Bintang

76 15 0
                                    

Saya emang murahan,

saya sadar hal itu,

dan saya bangga akan hal itu.

Hanya dengan nasi goreng karet dua.

"Gimana sih anying?! Cerita gak lo!"

"Bentar nih gue belum selesai makan."

"elo ya Bi, udah gue beliin nasi goreng bukannya cerita malah makan duluan."

Sharon bilang dia ingin mendengar cerita saya soal tempo hari saat Bintang datang ke kosan saya, jadilah dia datang dengan sogokan sebungkus nasi goreng yang dikaret dua.

Hari itu saya juga tidak menyangka Bintang akan datang ke kosan, pasalnya kami memang janjian untuk bertemu di kedai tapi saya tidak mengabarinya kalau saya diserempet pengendara motor.

"Kan gue laper Sharoonnn." Sementara Sharon hanya mendengus kesal tapi tak ayal mendudukkan dirinya juga dengan saya di lantai.

"Eh tapi lo seriusan udah balikan nih?"

"Ho-oh. Kenapa? Gak percaya lo?"

"Gue ikut seneng sih dengernya, liat gimana lo dua minggu kemaren malah bikin gue gak tega. Kesel, gak terima bawaannya kalo liat Kak Bintang pengen lempar pake batu bata mukanya, apalagi liat si Anggi, behhh pengen gue botakin tuh rambut nya yang pirang. Emang dasar tuh si Laverna!"

Saya hanya menanggapi gerutuan Sharon dengan tertawa sembari membereskan bungkusan nasi goreng. Tentang Anggi saya sebelumnya sempat cerita padanya, soalnya Sharon kelihatan tak lelah menanyai saya kenapa menangis setelah dia menjumpai saya di belakang gedung fakultas sastra.

"Gue tuh ya Bi, dari dulu selalu sugesti diri gue buat gak suka sama orang secara berlebihan intinya tetep fokus sama diri sendiri, alias kalau dia gak bales perasaan lo ya jangan dilanjut. Tapi ngeliat lo sama Kak Bintang gue mulai bingung sama pemikiran gue."

"Kenapa lo ngomong gitu?" saya menatapnya heran, mengingat Sharon yang biasanya sarkas dan bicaranya sepedas bon cabe level lima, jelas kaget saat mendengar dia bicara dengan nada lemah dan tatapan sayu.

"Iya, yang gue liat selama ini lo cuma berjuang sendirian, lo sakit hati sendirian, lo sedih sendirian, tapi makin hari juga perasaan lo ke kak Bintang makin bertambah. Pas gue liat dia kemarin datang kaya orang kesetanan cuma buat nyamperin lo bikin gue sadar kalo dia juga punya perasaan yang terus bertambah buat lo. Ya gue salah karna selalu nyudutin kak Bintang, habisnya cowok lo tuh sebelas dua belas sama es batu ngeselin deh. Eh ternyata doi bisa berekspresi juga."

"Ini lo ngomongin gue sama Bintang apa lo sama gebetan nomor seratus empat puluh tiga lo?"

"Hehe, sekalian dong sistah."

Saya mendengus kesal, "Dasar. Terus lo pikir Bintang apaan? Patung?"

"Ya maaf, abisnya kan dia emang gitu. Nah kan keingat gebetan kan gue!"

"Tapi Sha, kadang emang gitu. Gue tahu maksud lo baik, cuma kadang ada hal yang bukan teritori kita. Gue gak maksud marah ke lo, tapi lo tahu kan kalo gue bisa sampai sejauh ini berarti Bintang juga ngasih feedback yang cukup ke gue, iya kali gue kekeh padahal mah aslinya jalan ditempat, kan gak?"

Memangnya sudah sejauh apa sih Biru?!

Gak tahu.

"Iya juga ya," dia mengangguk-anggukan kepalanya layaknya peneliti yang mendengar presentasi penemuan terbarukan. "Terus masalah si Anggi? Ihh emang ya si pelacil ngajak ribut mulu tuh orang."

"Pelacil apaan?"

"Pelakor cilik."

"Yeuy si anying." saya menoyor dahinya agak kuat, sama seperti yang biasa Sharon lakukan pada saya. "Buset anjir ini kepala lo kirain apa?!"

EpiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang