Pengalih

403 204 2
                                    

Hari ini saya skip kelas, alasannya sederhana mata saya masih bengkak sampai-sampai melihat saja buram bagai minus 5. Mata saya sudah minus 2,5 saja sudah susah melihat, apalagi sampai 5.

Bodoh.

Saya dan kata bodoh adalah dua yang menjadi satu dalam keselarasan, menciptakan kalimat sederhana penuh makna, yaitu saya bodoh.

Saya bodoh karena masih saja menangisi kejadian dua hari lalu, perihal Bintang, hari jadi, tengkar dan Anggi. Muak, malas, membosankan. Tapi tetap saja saya tangisi.

Kurang bodoh apa lagi saya ini?

Hari ini hari senin, i hate monday! Kenapa mesti hari senin? Kenapa tidak hari lain saja? Saya kan harus kuliah, saya kan harus mengumpulkan tugas dan laporan perihal magang nantinya. Sialan, ini semua karena Bintang. Lelaki yang kata Sharon si plin-plan brengsek, yang saya tangisi sampai mata saya rusak.

Jadilah saya hari ini memilih skip kelas, ketimbang repot mencari alasan dari pertanyaan orang lain perihal mata sembab dan wajah sendu saya.

Bintang sama sekali belum mengirim pesan apapun, dan saya sama sekali tak ada niatan untuk menghubunginya lebih dulu. Sebut saja saya egois, saya tak keberatan. Karena demi beng-beng yang saya makan kali ini, saya benar-benar marah pada Bintang.

Sharon tadi bilang akan main ke kost saya lagi sembari membawa sesuatu yang katanya dapat melipurkan lara hati saya. Sebenarnya saya tak yakin akan ucapannya, karena terakhir saya seperti ini dia datang dengan membawa dua porsi seblak dan bon cabe level lima. Sikampret itu menyuruh saya memakannya, yang bodohnya saya turuti saja. Jadilah hari itu kami berdua menahan pedas sambil berurai air mata karena seblak bon cabe level lima.

Saya sangat bersyukur setidaknya punya satu orang yang selalu ada buat saya, dia Sharon. Sudah lama sejak pertemuan pertama kami dikampus sebagai mahasiswi baru, sejak saat itu dia selalu menjadi teman saya tak peduli dengan mood saya yang suka terjun bebas. Biarpun kelakuan dan ucapannya tak kalah pedas dari bon cabe level lima, tapi dia sebenarnya punya hati baik dan pengertian. Seblak bon cabe itu hanya alat darinya supaya saya bisa melepaskan kesal dan sedih saya dengan tidak tragis, meskipun konsekuensinya harus bolak-balik kamar kecil dan bibir merah dower. Tapi begitulah Sharon.

Sekarang masih pukul sebelas dan kelas terakhir Sharon pukul empat, yang artinya saya masih punya lima jam yang terbuang. Saya pikir ini waktu yang pas untuk berbelanja keperluan bulanan selama di kost, jadilah saya memutuskan keluar ke minimarket depan gang.

Karena jaraknya hanya butuh lima menit jadi saya memutuskan untuk berjalan kaki saja, toh sebagai bentuk penghematan bbm maklum anak kost akhir bulan seperti ini.

Sudah lama sejak saya tidak ke minimarket ini lagi, mungkin ada setengah tahun. Tiba-tiba saya merasa dejavu, saya bisa melihat bayang-bayang saya dua tahun lalu yang menangis dibawah cahaya temaram lampu jalan. Kalau tidak salah sebabnya adalah papa yang memperkenalkan calon istrinya pada saya. Iya, sebagai calon istri bukan sebagai mama baru bagi saya. Mungkin dia hanya cari pendamping tanpa memikirkan saya, lagian saya sudah dewasa kan? Buat apa dipikirkan orang tua terus?

Disitu saya menangis, dengan bahu bergetar dan wajah tertutup telapak tangan. Kemudian seseorang datang memberi saya setangkai lolipop, membiarkan saya menangis bahkan membasahi kaos hitamnya. Ah saya jadi rindu dengannya, sudah lama juga tidak bertemu, dia bagaimana kabarnya ya?

EpiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang