Bab.VIII - Bima dan Pak Akim

35 5 0
                                    

Masih di hari yang sama.

Sepulang sekolah, Bima sekali lagi menemui gadis itu di depan gerbang sekolah.

Nayla sedang memberhentikan angkot dengan melambaikan tangannya sebelum dirinya dihentikan oleh sapaan dari Bima. Sudah melambaikan tangan, dan Bima datang.

"Abang kamu gak jemput?" ujar Bima, yang berada tepat dekat dengannya.

"Gak," ujar Nayla singkat dan sekilas memandang wajah Bima.

Sepertinya sisa satu posisi untuk satu orang saja di dalam angkot. Nayla harus segera naik sebelum ada orang lain yang menempati.

"Duluan, ya," ucap Nayla.

Tiba-tiba saja tubuh Nayla tergeser pelan dengan sendirinya karena oleh dorongan pelan dari Bima. Nayla menatap Bima yang tiba-tiba saja selonong masuk ke dalam angkot tersebut!

"Jalan, Pak," ucap Bima yang sudah mendapat tempat duduk di dalam.

"Heh?!"
"Kan aku yang berhentiin angkotnya!" gerutunya dalam hati.

Nayla hanya bisa termenung melihat angkot tersebut jalan meninggalkannya.

Sampai tidak jauh dari hadapannya, angkot itu tiba-tiba berhenti, dan kembali jalan setelah menurunkan seorang pria yang akhir-akhir ini sangat membuatnya bingung.

Kamu tahu siapa?

Itu Bima, Bima Satya Abhimanyu.

Pria itu berlari setelah turun dari angkot menghampiri Nayla yang masih berdiri di tempat yang sama yang sekarang menatapnya heran.

"Kenapa turun lagi?!" tanya Nayla dengan nada yang sedikit kesal, tapi tak berani untuk melantangkannya.

"Emang gak niat naik angkot," jawab Bima.

"Kenapa kamu ngalangin aku sih, tadi? kalau akhirnya kamu cuma gak niat."

"Sengaja," ucap Bima.
"Tapi udah aku bayar kok uang angkotnya tadi,"

"Rese!"

"Di dalam tadi banyak orang, banyak laki-laki juga," ucap Bima.

"Ya terus kenapa?"

"Kan bisa bareng sama aku, jadi gak perlu desak-desakan begitu," ujar Bima.
"Tadi aja aku sampe desak-desakan, susah duduk. Udah berhasil duduk, malah jadi mengkerut,"

"Kamu tahu kayak apa?" tanya Bima.

"Apa?"

"Kue Ketapang!"

"Kue Ketapang kan keras. Mana bisa mengkerut," ujar Nayla heran.

"Kue Ketapangnya belum dimasak,"

Nayla tertawa, tapi masih menahan, dan Bima tersenyum memandang gadis itu.

Kamu tahu 'kan kue Ketapang? Kalau lebaran Idul Fitri di sini, di Tangerang, pasti ada, jika buatnya tidak malas. Cemilan lebaran selain rengginang yang ditaruh di kaleng Khong Guan.

Mamaku juga buat. Mau itu Idul Fitri ataupun Idul Adha. Kadang saya bantu, seru buatnya. Di gulung-gulung kecil gitu adonan kuenya, lalu dipotong kecil dengan gunting. Kadang juga cuma jadi pengeksekusi sih, hehehe. Tukang tinggal makan kalau udah jadi, masih dalam keadaan adonanpun enak rasanya, soalnya Mama sendiri yang buat.

Kita kembali ya, ke Bima dan Nayla. Kasihan, jangan dianggurin.

"Aku ambil motor dulu ya, di parkiran," ucap Bima.

"Aku gak bawa helm," ujar Nayla.

"Aku juga, cuma bawa satu," ucap Bima.

"Terus?" tanya Nayla.

Berpisah sebelum waktunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang