Bab.IX - Suara Telepon

29 3 0
                                    

Meja belajar, lengkap dengan bunga beserta vas-nya, buku-buku, dan kotak ATK. Nayla mengeluarkan buku LKS Sejarah Indonesia karena ada PR, yang ia ambil dari tas sedari tadi yang tersandar di kursi.

Membuka halaman demi halaman, (halaman buku ya, bukan kampung), Memijit kepala bolpoin-nya sembari membuka buku tulis khusus PR Sejarah Indonesia yang sudah rapih tersampul cokelat, atau lebih tepatnya krem. Atau, atau, cokelat ke-krem-an, deh. Eh, krem sih kayaknya yang lebih tepat.

Oh iya, satu lagi, di atas mejanya juga ada segelas air mineral yang tadi setelah makan malam ia ambil airnya dari galon.

Sepersekian detik, kayaknya, semoga saja benar, Nayla baru saja ingin memulai kata pertamanya di buku tulis. Suara telepon yang asik gimana sih? Ya, gitu lah pokoknya. Pokoknya suara telepon deh.

Menghela nafas pelan, dan membalikkan badannya ke arah kasur. Nomor tidak dikenal, terpampang jelas ketika handphone-nya berdering saat itu.

Nayla terdiam sejenak, "Angkat tidak, ya?" gumamnya, "Nanti kalau tukang hipnotis?"

"Ah, ya udah deh, aku angkat aja. Siapa tau penting,"

"Sok penting banget, hahaha,"

Ia berdiri dari kursinya, kau tahu apa yang dia lakukan setelah itu? Dia melompat, dan langsung tiduran di atas kasur dalam posisi tengkurap dan langsung mengambil handphonenya. Tapi masih menahan, ini beneran angkat gak ya??

Jempolnya penasaran juga! Ya, teleponnya sudah tersambung.

"Selamat malam," suara di balik telepon.

"Ini beneran gapapa gak sih?!" ia masih ragu dalam hatinya.

"Iya, malam," akhirnya Nayla mencoba memberanikan diri.

"Bisa bicara dengan Tante Nayla?"

"Heh, Nayla aja," protes Nayla.
"Ini siapa?"

"Bisa bicara dengan Tiffany?" lanjut si penelpon.

"Itu namaku,"

"Ohh, ya udah, kalau begitu, bisa bicara dengan Naazneen?"

"Itu juga namaku. Ini siapa, sih?!"

"Di sini dengan Bima, kata Mamaku,"

"Ohh, Om Bima. Hehehe,"
"Kok kata Mamamu?"

"Kan Mamaku yang suka manggil pakai nama itu sejak aku masih kecil. Ya, jadi aku pikir itu namaku," jelasnya.

"Ini Bima sekolahan?"

"Emangnya Bima mana lagi yang berani menyusup ke benakmu?"

"Pd banget! Hahaha" ujar Nayla.

"Biarin, benerkan? Hehehe,"

"Hmm..." Nayla membalikkan posisi badannya ke posisi terlentang sambil senyum. Mau bikin jokes telentang dapat menyebabkan kematian, takut dibilang: Ah, udah biasa. Ah, jokes zaman Majapahit.
Hahaha, gak jadi lah. Lanjut.

"Kok kamu bisa tau nomor telepon aku?"

"Apa perlu aku kasih tau?" ujar Bima

"Hmm, terserah deh,"
"Kenapa malam-malam nelepon?"

"Ohh, di sana malam ya?" tanya Bima.

"Emangnya di rumah kamu gak malam?"

"Malam," ucap Bima.
"Kamu mau ke Afrika? Yuk?"

"Ngapain?"

"Di sana masih sore,"

"Hahaha, ngapain. Aneeh," ujar Nayla.

Berpisah sebelum waktunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang