Sabtu, 5 Maret 2011. Nagasaki ....
Tidak sengaja aku menabrak seorang laki-laki hingga aku terjatuh. Laki-laki itu hanya sedikit terhuyung, tetapi tasnya yang jatuh.
"Maaf, saya tidak sengaja," ucapku sembari berusaha berdiri.
"Saya juga salah. Saya minta maaf. Daijoubu desu ka (apa kau baik-baik saja)?" sahutnya ramah dengan tangan terulur untuk membantuku berdiri.
"Hai, daijoubu desu (iya, saya baik-baik saja)." Aku berdiri tanpa menyambut uluran tangannya. Aku juga memungut tasnya yang jatuh serta mengembalikannya. "Ini tas Anda," kataku dengan kepala tetap menunduk sehingga aku tidak melihat wajah pemilik tas itu.
Laki-laki itu menerimanya. "Terima kasih."
"De wa, shitsurei shimasu (kalau begitu, saya permisi)." Aku pamit masih dengan menunduk tanpa berusaha melihat wajah lawan bicaraku.
"Iya, hati-hati."
Aku langsung berlalu dengan langkah bergegas seperti sebelumnya. Kepalaku terus menunduk karena aku tidak tahan dengan tatapan aneh orang-orang terhadapku.
Aku benar-benar lega ketika akhirnya tiba di rumahku yang sederhana. Aku masuk dengan mengendap-endap hingga melampaui ruang tamu. Kamarku berada di lantai dua. Aku menaiki anak tangga satu per satu. Supaya lebih konsentrasi, aku menghitung setiap anak tangga yang kulewati. Satu, dua, tiga ....
Sepasang kakiku mencapai lantai dua.
"Hei, siapa itu?" Tiba-tiba terdengar suara laki-laki.
Gawat! Itu Kak Saichi! Kamar Kak Saichi memang di sebelah kamarku.
Buru-buru aku menuju kamar, cepat-cepat membuka pintu, langsung masuk, dan segera menutup pintu serta menguncinya dalam satu gerakan yang tangkas. Aku lalu mengempaskan tubuh di atas kasur yang empuk. Saat ini, aku merasa kamarku adalah tempat ternyaman di bumi.
***
"Kaori, nanti aku ke rumahmu, ya? Kita berangkat bersama." Youko, teman dekatku sejak kecil, meneleponku pagi ini.
"Ke mana?" tanyaku tak mengerti.
"Kau lupa, ya? Kita akan melihat bunga sakura."
Melihat bunga sakura? Oh, iya. Hari ini, kan, aku dan beberapa teman sudah berjanji untuk pergi piknik dan melihat bunga sakura di taman kota. Musim semi sudah tiba. Sakura bermekaran di sepanjang jalan di seluruh kota. Mahkota sakura berguguran membentuk permadani tebal yang menyelimuti bumi dengan warna merah muda.
Sebenarnya aku senang sekali melihat bunga sakura. Apalagi, bersama teman-teman. Kami akan menghamparkan tikar di bawah pohon sakura kemudian makan bekal yang sudah kami bawa dari rumah. Kami biasa bercerita, bercanda, dan berfoto bersama. Sungguh menyenangkan!
Namun, apakah aku siap dengan diriku yang sekarang? Bagaimana reaksi teman-teman nanti jika melihatku? Apa mereka bisa menerima?
"Kaori, kau masih di sana?" Suara Youko yang kembali terdengar memecah pikiranku.
"Oh, eh, i, iya ...." Aku tergeragap dari lamunan.
"Jadi, bagaimana? Kita bertemu jam berapa?" Youko mengingatkan topik pembicaraan kami.
Aku pun memutuskan. "Ehm, soal itu ... aku minta maaf. Aku tidak ikut."
"Eh? Nande (kenapa)?" tanya Youko cepat.
"Kibun ga warui (aku merasa tidak enak badan) ..." kataku beralasan.
"Kau sakit, Kaori?" Youko terdengar khawatir.
"Eh? Tidak. Hanya sedikit pusing ...." Pusing mencari alasan, lanjutku dalam hati.
"Zannen desu (sayang sekali) ..." ujarnya menyesal.
"Gomen ne (maaf, ya) ..." ucapku.
"Baiklah. Semoga lekas sembuh." Youko mengakhiri pembicaraan.
"Terima kasih," balasku.
Hubungan pun terputus.
Hufff ... lega. Aku mengembuskan napas berat. Baru satu hari, tapi aku sudah menghadapi masalah seperti ini. Bagaimana kalau seminggu, sebulan, setahun? Masalah pasti terus bermunculan dan itu tidak akan mudah. Aku tidak bisa bersembunyi terus. Aku harus menghadapinya.
Sejenak aku dapat melupakan persoalan itu. Aku pun melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat tertunda oleh telepon dari Youko, mencari saputanganku yang hilang. Kemarin saputangan itu masih kupakai untuk menutupi wajahku karena aku tidak tahan dengan orang-orang yang melihatku dengan heran. Kemarin?
Oh, iya. Aku menepuk dahiku pelan. Jangan-jangan, saputanganku jatuh saat aku menabrak laki-laki di depan Miyamoto Café kemarin. Aku terlalu terburu-buru sampai lupa memungutnya. Bagaimana ini?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Hankachi
SpiritualeGara-gara bertabrakan dengan seorang laki-laki di depan Miyamoto Cafe, Kaori kehilangan saputangannya. Dia juga dipaksa ayahnya menikah dengan Okumura Shinichi, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Suatu hari, Kaori menemukan saputangan yang...