3 | T h e A c c i d e n t

1.1K 246 167
                                    

"Hanya foto bingkai?" Irene mengangguk mantap.

"Maaf, buktinya belum terlalu kuat untuk membuktikan kasus ini. Kami membutuhkan sidik jari pelaku," ujar sang polisi lagi.

"Tapi pembunuhan ini sangat bersih. Pelaku mungkin menghapus jejak pembunuhan."

"Apakah anda punya saksi?"

"Saya tidak punya saksi. Tapi saya yakin karena adik saya telah hilang!!"

"KAMI KEBERATAN DENGAN TUGAS YANG KALIAN BERIKAN. BUKANNYA TUNTAS, TAPI KAMI JUGA JADI IKUT TERLIBAT," lanjut Irene.

"Tolong rendahkan suaramu nona. Kami masih punya banyak kasus untuk diselidiki. Silahkan keluar."

"Setidaknya tolong temukan adik saya. Saya pun tidak tahu adik saya hilang atau dibunuh," ujar Irene seraya merapatkan kedua telapak tangannya.

"Sepertinya ini pembunuhan berencana."

"Yeah, I think so."

"Untuk apa kami membutuhkan BV-X untuk menangkap Blackiester? Tentu saja karena kami tahu kalian sudah profesional melebihi polisi."

"Dan nantinya jika kalian sudah menemukan beberapa bukti kami akan menindak lanjut," jelasnya lagi.

Irene berpikir sejenak, benar juga pikirnya. Semakin ia mengandalkan polisi, Blackiester akan menganggap BV-X lemah. Lagipula Blackiester tidak tahu bahwa kepolisian bekerjasama dengan BV-X.

"Kamsahamnida!"

"Oh ya, kau kesini dengan siapa?" tanya seorang polisi bernama Hanbin saat Irene hendak beranjak keluar.

"Jane."

"Ah, sampaikan salamku padanya. Sudah berapa lama tak bertemu. Pasti dia bertambah cantik." Irene memutar bola matanya malas. Pantas saja Jane tidak mau ikut masuk. Ternyata Hanbin masih saja genit pada Jane.

Irene hanya berdehem lalu meninggalkan kantor polisi.

Ia menghampiri mobilnya yang terparkir di bawah pohon lalu mengetuk kaca jendelanya. "Jen, bukaaaaa."






Tok..tok...tok








"Jen?"


















Tok..tok...











"Jendeuk!"





















Tok! Tok! Tok!













"NONA KIM BUKA PINTUNYA!!!"







Jane yang sedang tidur terpelonjak kaget. Ia segera membukakan pintu mobil untuk Irene.

Jane terkejut melihat mata Irene melotot keluar dengan wajahnya yang merah padam. Jennie menelan salivanya.

"Maaf. Ampun mak ampun!" Jennie menundukkan pandangannya, ia tak berani memandang wajah Irene yang mirip singa yang sudah siap menerkam mangsanya.

Irene terbahak melihat Jane seperti itu. Kemarahannya telah mereda. Jane pun bisa bernafas lega.

"Nyenyak banget, hum?" tanya Irene seraya memasuki mobil.

"Gue ngantuk, semalaman kita gak tidur dan sekarang udah mau pagi!"

˚➳ KILL THIS LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang