Aku, mama, dan papa sedang duduk di meja makan. Kami menikmati sayur asem dan ikan tongkol pedas buatan tukang masak mama di rumah. Papa berulang kali mendesis, dahinya berkucur keringat, tapi tak mau melewatkan sedikit pun sambal di piringnya. Mama kelihatan telah menyudahi sesi makan dan merapikan piring untuk dibawa ke dapur. Sementara aku sama sekali tak menikmati makananku. Padahal ini masuk menu favorit mingguan keluarga. Aku masih sibuk memikirkan ekspresi menjengkelkan Damar tadi siang. Kesalnya lagi ketika aku cerita di grup klub jurnalistik mereka malah menertawakanku. Sialan!
"Kenapa, Cha kok makanannya sss enggak di makan? Sss," tanya papa.
Aku tersenyum. Enggak tega lihat papa kepedesan begitu. Belum lagi efek setelah makan pasti kamar mandi tidak akan ditinggalkan papa dalam waktu lama. "Pa, uda dong makan pedesnya kalau enggak kuat," saranku mengalihkan topik.
Papa menggeleng. "Ikan tongkolnya enak Cha sayang kalau enggak dihabisin," ungkapnya.
Ah, papa mesti begitu. Keras kepala kalau dikasih tahu.
Aku masih belum menghabiskan makanku bahkan setelah mama selesai mencuci piring dari dapur.
"Cha kok enggak dihabisin. Tumben, kamu bosen sama masakan mbak Rut?"
"Enggak kok. Aku masih suka tongkol pedas mbak Rut, " jawabku datar.
Mbak Rut atau Rutina adalah pembantu mama yang tadi aku bilang. Dia bukan mbok berumur melainkan seorang perempuan muda beranak tiga. Yup, umurnya masih dua puluh tiga tahun, memiliki anak tiga, suaminya meninggal setahun lalu.
Mama mengenal Mbak Rut lewat temannya yang pernah jadi majikan mbak Rut sebelum pindah ke luar kota. Kerja mbak Rut cekatan dan rapi, masakannya juga enak banget terutama tongkol pedas, menu kesukaan papa. Terus mbak Rut juga baik dan ramah, usinya cukup muda hingga membuat semua orang rumah nyaman berbincang apapun sama dia termasuk aku. Kadang aku menganggap mbak Rut sebagai temanku sendiri saat di rumah.
Setelah menyudahi acara makan malam keluarga kami, papa dan mama berkumpul di ruang keluarga. Papa menyetel film pada layar datar televisi. Sedangkan mama sedang menyiapkan minuman dan cemilan di meja. Biasanya aku hanya akan duduk menunggu di sofa sampai kedua orang tuaku bergabung menghimpitku. Lalu kami akan menonton film hingga tengah malam. Diselingi candaan atau perdebatan mengenai totonan kami. Itu adalah acara setiap malam minggu di keluargaku. Semacam Quality time kami. Namun, hari ini tampaknya aku enggak selera menonton film. Jadi kuputuskan langsung beringsut ke kamar tidur saja.
Sampai di kamar bukannya langsung ambruk di kasur aku malah mondar-mandir enggak jelas di dekat jendela. Sumpah deh! Perkara Damar belum kelar dari pikiran. Terutama mimik wajah ganteng tapi super ngeselin darinya pas minta rokok buat bayaran wawancara seliweran terus enggak mau pergi. Duh pengen aku lempar pakai sepatu pantofel berhak di rak depan.
Drtt.. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Layarnya memunculkan notifikasi whatsapp dari Mita. Setengah hati aku buka pesan itu. Enggak tertarik kalau bakal ngomongin kejadian tadi siang lagi. Pliss seseorang bantu aku melupakan wajah Damar dari ingatan!
"Cha bagaimana soal wawancara, uda beres? "
Mita memang tegas banget soal kerjaan jurnalistik. Kayaknya seluruh hidupnya memang harus tertata dengan baik dan dilakukan secara serius. Cuma Mita yang enggak ngirim stiker super ngeselin di grup chat saat aku cerita soal Damar. Dia justru berusaha menenangkan dengan bilang "sabar Cha cowok TTU emang gitu"
"Belum Mit. Maaf kayaknya aku enggak jadi wawancara Damar. Kita cari narsum lain aja, deh."
Uda dipastikan Damar bukan Antariksa. Serius enggak mungkin penulis Orion yang penuh rasa dan menyenangkan itu berwujud cowok ngeselin dan tengil begitu. Lagipula aku baru sadar kalau foto Antariksa di instagram itu cowok tinggi dan enggak ada postur anak SMA kayak Damar. Berarti Damar bukan Antariksa dan dia cuma plagiat! Uda tengil, ngeselin, plagiat pula. Setelah beres masalah artikel jurnalistik aku bakal menemui Damar dan minta tanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who is Author of The Orion
Teen FictionDamarlangit, seorang siswa SMK Anugerah jurusan "Kandang Binatang" membuat heboh satu sekolah. Pasalnya keberadaannya hilang timbul, tak ada yang istimewa darinya hingga suatu hari dia digosipkan berhasil menerbitkan novel yang meledak di pasaran. I...