Hari pertama ujian tengah semester, mata pelajaran yang dijadwalkan lumayan mudah, tapi bobotnya banyak karena harus menyelesaikan tiga mata pelajaran dalam sehari. Satu pelajaran diberi waktu tujuh puluh lima menit. Waktu itu berjalan lambat kalau ujiannya mudah, berlaku sebaliknya. Jadi aku merasa bosan ketika seluruh kertas jawabanku sudah terisi penuh, tapi tidak diperbolehkan keluar ruangan.
Aku melirik Jessica yang tengak-tengok ke sana ke mari. Kami duduk cukup berjauhan. Aku berada di barisan nomor dua di kolom pertama depan meja guru. Sementara Jessica ada di baris nomor satu kolom keempat dekat dengan pintu keluar.
Aku tahu Jessica gelisah, mungkin karena ujiannya belum selesai dikerjakan, sedangkan waktu hanya tersisa sekitar lima belas menit lagi. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu kesulitan mengerjakan ujian mata pelajaran agama.
"Anak-anak waktu ujiannya tinggal sepuluh menit. Kalian bisa koreksi jawaban yang sudah diisi barangkali ada kesalahan. Soal dan jawaban dikumpulkan setelah bel berbunyi," ucap guru yang menjaga ruang ujian kami.
Anak-anak serempak menjawab, "Iya, Bu."
"Kamu uda selesai?" tanya seorang cowok di sampingku. Dia anak TTU. Kami sempat ngobrol seperlunya tadi sebelum ujian dimulai. Di mataku orangnya nggak terlalu menarik sama seperti cowok lainnya.
"Uda."
"Wah, cepet banget. Aku lihat yang nomor dua, dong," bisiknya padaku.
Aku menelan ludah. Aku kan nggak kenal sama dia, bisa-bisanya minta contekan segampang itu. Memang ini mata pelajaran umum bukan kejuruan, jadi soal di semua jurusan sama. Tapi kan aku nggak mau semudah itu kasih contekan ke orang yang nggak aku kenal. Resikonya kalau ketahuan aku juga yang menanggung.
Mengetahui aku diam saja, cowok itu kembali berbisik,"Pelit banget, sih. satu aja kok."
Aku melirik, memasang alis berkerut kepadanya. Dia langsung kaget melihatku. "Ya ampun nggak boleh, ya? Dasar pelit."
Eh, cowok ini kok bisa-bisanya sih ngatain pelit. Aku kan cuma ngelihat dia buat pertimbangan bisa dipercaya atau nggak. Ya udah nggak jadi aku contekin, bodo amat.
Cowok itu langsung membalikan tubuhnya setelah memastikan guru yang menjaga masih sibuk dengan ponsel di tangan. Kali ini dia berniat mencotek Damar. "Bro, lihat nomor dua, dong."
"Ah, belum."
"Bohong! Kamu kan pinter, Mar."
Damar yang diganggu terdengar menyemburkan napas kesal. "Dibilangin belum!"
Mendengar suara Damar yang cukup keras kontan guru di depan meja kami pun berdeham. Cowok tadi pun akhirnya menyerah dan memasang wajah masam.
"Kalian itu sama-sama pelit," gerutunya.
Aku menoleh ke arahnya. Mendengkus sebal. Cowok ini kok lebih nyebelin daripada Damar, sih. seharusnya dia itu belajar biar bisa ngerjain ujian. Bukan malah ngatain orang gara-gara nggak dapat contekan. Huft, aku paling kesal dengan tipe orang kayak gini. Nggak mau usaha, tapi menyalahkan orang lain. Dia pikir ujian dan masa depannya itu tanggung jawab orang lain.
"Dasar tukang contek!" tiba-tiba ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Dia terperangah menatapku.
"Apa lihat-lihat?" tanyaku ketus.
Kemudian dia membuang muka. Dia tak menggerutu lagi dan sibuk mengarang jawaban di lembar jawaban miliknya. Sejak itu kami tak lagi terlibat pembicaraan. Bahkan setelah mata pelajaran kedua selesai diujikan.
***
Kami diberi waktu istirahat selama 25 menit setelah mengerjakan ujian mata pelajaran kedua. Kebanyakan dari anak lain akan keluar kelas, berkumpul dengan teman mereka yang tidak satu ruangan, lalu membicarakan jawaban dan soal ujian masing-masing. Sementara aku lebih memilih tetap di kelas merenungkan lembar jawaban tadi sudah benar kuiisi semua apa ada yang terlewat, ya.
Jessica tiba-tiba mengambil duduk di bangku sebelahku, disusul Elang duduk di sebelah Damar. Aku bercerita soal cowok tadi dan nggak nyangka Jessica malah menertawakanku.
"Ya ampun, Cha serius kamu ngomong begitu?" Jessica memasang wajah tak percaya. "kalo aja Dea di sini pasti itu cowok uda ditabok sama sepatu."
"Aku pikir kamu orangnya takut kalo sama cowok, Cha. Soalnya pas pertama kita ketemu kamu kan sembunyi di baliknya Frey." Elang ikut berkomentar.
Aku sudah bilang bukan? Kalau aku bukan cewek cupu. Jadi bermalu-malu bukanlah sifatku. Dan cowok tadi memang keterlaluan. Aku tidak pernah suka sifat begitu. Sekalipun Jessica suka melihat jawabanku dan aku sesekali tak memberikannya, dia nggak pernah tiba-tiba ngatain aku sembarangan. Tapi perkataan Elang tentang kelas TTU juga benar, sejak berurusan sama Damar aku jadi nggak takut berhadapan dengan anak TTU.
"Lagian emang dia kok yang salah. Husain harusnya bisa tanggung jawab sama ujiannya sendiri. Masa depan seseorang itu dilihat dari gimana cara mereka nyelesaiin suatu masalah dalam hidupnya sekalipun itu sulit, penuh jebakan, dan menantang."
Aku membalikkan badan. Jessica bahkan hampir teriak "Ha" karena ucapan Damar barusan. Kok dia mendadak ngomong bijak begitu.
"Ehem, iya deh, iya percaya yang penulis. Omongannya bijak banget sih, goda Elang hingga membbuat Damar jengkel.
Aku bukan cuma terkejut mendengar perkataan Damar barusan karena begitu mendadak dan terdengar bijak sekaligus aneh. Tapi karena aku tahu berasal dari mana ungkapan itu. Di salah satu bab novel Antariksa Orion pernah berkata pada Artemis kalau "Masa depan seseorang dilihat dari bagaimana cara mereka menyelesaikan sesuatu sekalipun itu sulit, penuh jebakan, dan menantang."
Astaga bener! itu kan salah satu adegan keren di novel The Orion. Kenapa Damar mengatakan kalimat seolah setiap katanya memang berasal dari pemikirannya secara pribadi? Mengapa aku tiba-tiba seperti sedang mendengar Orion yang bicara?
Jessica menyikut lenganku cukup keras. "Kok ngelamun?"
Aku tersentak. Tenggorokanku seperti tercekat oleh sesuatu.
Aku cuma bisa memandang Damar gamang. Sementara kulihat dari ekspresinya Damar seperti sedang menyembunyikan matanya dariku. Apa Damar benar-benar Antariksa, ya?
"Oh, iya ngomong-ngomong kalian uda wawancara?" Elang memberikan pertanyaan yang langsut membuat api di pikiranku tersulut dengan mudah.
"Belum. Ehm, Damar, kamu kapan ada waktu buat wawancara sama aku? Gimana kalo habis ujian?"
Kami semua menunggu jawabannya, tapi Damar masih diam saja. Dia kelihatan bingung dan ragu-ragu. Kepalanya terus menunduk.
"Habis UTS selesai aku bisa kalau kamu masih mau wawacara aku."
"Berarti hari jum'at? Oke, aku bisa dan mau wawancara kamu!" aku menyahut dengan semangat, keburu nyali ngajak Damar wawancara hilang.
"O-oke."
Senyum di bibirku mengembang. Aku tidak bisa menutupi rasa bahagia di hatiku. Bukan hanya karena Damar setuju soal wawancara. Tapi, juga karena dengan begini aku akan tahu kenapa Damar sempat tidak mengakui karyanya padaku, lalu kenapa dia tiba-tiba berubah pikiran, dan siapa dia sebenarnya?
Begitu banyak pertanyaan muncul di benakku sekarang. Tak cukup waktu empat hari untuk nggak memikirkannya. Sabar Icha sabar.
"Eitss..., seneng banget nih kayaknya yang uda bisa wawancara. Jangan lupa rokok dan teh botolnya, Cha." Elang mengerling padaku.
Langsung kusodorkan dua jempol padanya. "Siap! Asal wawancaraku berhasil."
Kami tertawa.
Cuma rokok sama minuman kemasan mah aku jabanin. Yang terpenting aku harus tahu informasi Orion dengan sejelas-jelasnya.
***
Meski uda ku revisi bab ini masih aneh nggak sih wkwkw. Btw happy reading! kalian penasaran nggak Damar sebenernya Antariksa apa bukan? atau jangan-jangan kalian uda tahu dia Antariksa apa bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Who is Author of The Orion
Teen FictionDamarlangit, seorang siswa SMK Anugerah jurusan "Kandang Binatang" membuat heboh satu sekolah. Pasalnya keberadaannya hilang timbul, tak ada yang istimewa darinya hingga suatu hari dia digosipkan berhasil menerbitkan novel yang meledak di pasaran. I...