(9)Jangan terpengaruh!

12 2 0
                                    

Rasanya mulutku sudah gatal ingin cerita kejadian kemarin kepada ketiga temanku. Sayangnya niatku itu terhalang karena Bu Ajeng, wali kelas kami mengumumkan bahwa dua minggu dari sekarang kami harus siap-siap untuk melaksanakan ujian tengah semester.

Kontan kami satu kelas langsung nggak fokus dengan pikiran masing-masing. Sebab kami tahu bahwa setiap ujian tengah semester, maka kelas kami akan dipisah. Separuh siswa dari jurusan kami akan satu ruangan dengan separuh siswa dari jurusan lainnya. Dan naasnya sebagai jurusan yang hanya memiliki satu kelas maka kelas kami akan dibagi menjadi tiga ruangan. Sistem itu diberlakukan katanya agar mengurangi kesempatan untuk mencontek satu sama lain.

Dea terus menggerutu selepas Bu Ajeng keluar ruang kelas.

"Ya Allah perasaan baru bulan lalu kita kita semesteran masa sekarang udah uts, terus uas lagi, terus naik kelas 12. Aduh, kok cepet banget, sih."

"Iya, ya, De." Jessica ambil bicara," yang paling nakutin itu kita dipisah duduknya. Bisa mati aku, De nggak sekelas sama kamu. Gimana nanti nasib bahasa jawaku." Tangan Jessica menengadah ke atas seolah sedang berdoa.

"Halah Jess, kalo kamu mah bukan cuma nasib bahasa Jawa, nasib pelajaran lain juga kamu serahkan ke temen-temenmu," balas Dea.

Aku dan Marta cekikikan mendengarnya. Memang di antara kami yang tidak dapat diandalkan soal pelajaran cuma Jessica seorang.

"Kok gitu, sih kalian." Jessica langsung memasang muka cemberut. Matanya mengerling kepadaku. "Eh, untung aku sekelas sama Icha. Jadi nilai akuntansi dan perbankanku nggak mungkin turun. Iya, kan. Cha?" alis Jessica naik-turun.

Aku pukul dahinya pakai penggaris. "Enak aja! uts kamu mikir sendiri, ya."

Jessica mengadu sambil memegangi dahinya.

"Tega banget kamu, Cha."

Aku, Dea dan Martha saling tertawa melihat tingkah Jessica ngambek.

"Cie ada yang marah."

Aku menggoda Jessica sambil memainkan rambutnya.

Dea mengikuti aksiku. Sementa Martha sebagai tim hore hanya ketawa-ketiwi.

Setelah kami goda beberapa kali. Jessica akhirnya membalikkan badan. Lantas dengan mimik jahil dia balas mengerjai kami betiga. Pinggangku dicubiti. Kerudung Dea ditarik. Martha sudah menjauh dari kursi hingga tak kena dampaknya.

"Rasain kalian! Eh, iya habis ini kita ke bagian TU, yuk. Kita minta nomor bangku. Biar kita tahu duduk di kelas mana dan dengan kelas jurusan apa," ajak Jessica.

Dea yang sedang membetulkan kerudungnya menyahut, "Oke, tapi istirahat kedua aja habis aku dan Icha sholat."

Jessica dan Martha mengangguk. Aku pun menyutujuinya.

***

Salah satu peraturan di sekolahku adalah mengharuskan siswanya untuk mengambil nomor bangku sendiri apabila ingin tahu informasi mengenai ruang ujian mereka. Pihak sekolah bukannya nggak mau kerja dengan menempel nomornya terlebih dahulu, tetapi hal itu dilakukan agar hanya siswa yang telah lunas membayar spp yang diperbolehkan ujian.

Sama seperti sekolah lain, sekolah kami juga memberlakukan sistem di mana tak ada uang, tak bisa ujian. Padahal kami diberi hak untuk memperoleh pendidikan yang layak di undang-undang. Di sana juga tak menyebutkan kalau hanya yang berduit yang bisa bersekolah. Lantas kenapa siswa yang tak bisa membayar tak boleh ikut ujian? Aneh, ya. Aku cukup bersyukur karena aku dan ketiga temanku tidak pernah memiliki masalah dengan pembayaran uang sekolah kami.

Seperti yang sudah dijanjikan selepas sholat dhuhur di mushola kami langsung menuju ruang tata usaha. Di sana sudah banyak siswa yang sudah mengantre. Tujuannya pasti sama seperti kami, yaitu mengambil nomor ujian.

Who is Author of The OrionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang