(5)Kok beda?!

26 3 0
                                    

Jam tiga lewat lima belas aku sampai di cgv maspion square tempat kami janjian. Bukan nonton, kok. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kami hanya akan menghabiskan waktu lima sampai sepuluh menit wawancara sambil minum di kedai cincau station.

Saat ini aku memakai kaos oversize kesukaanku yang bewarna oranye, skinny jins, dan sneaker putih. Rambut kugerai rapi dan pakaikan jepit anggrek di sisi kanannya. Wajah kupoles bedak, blush on tipis, dan lip tint warna oranye nude. Enggak terlalu berlebihan kan buat wawancara teman sekolah?

Sebelum ke sini aku sengaja minta mbak Rut pergi ke warung untuk beli rokok. Untung papa dan mama enggak tahu. Dan ini menjadi rahasia di antara aku dan mbak Rut saja. Enggak bisa bayangin gimana ekspresi papa dan mama kalau nemu satu bungkus rokok penuh di tas anak gadisnya pas mau keluar hang out. Bisa-bisa aku langsung dicoret dari kartu keluarga. Ih amit-amit!

Whatsapp Damar online lima belas menit yang lalu. Setelah itu pesannya tak lagi dibaca. Padahal aku sudah menunggunya kayak orang cengo di pelataran depan cgv. Emang cowok itu enggak peka ya? Suka banget bikin cewek menunggu.

"di mana woy? Aku uda di depan cgv"

"Damar!"

"Woy!!!!!"

Sialan! Aku mendengus kesal. Sudah sejam lebih aku di sini. Enggak sih, tadi sempat muter-muter ke food court beli satu kotak takoyaki juga, tapi kan sama aja. Aku menghentakan kedua kakiku gemas.

Orang-orang sekitar berseliweran memandangi. Aku bahkan sepertinya sudah hapal wajah mereka gara-gara kelamaan nunggu di sini. Aku merenggut hp dari dalam tas rajut selempang yang kupakai. Masih belum ada pesan baru saat aku coba mengecek aplikasi whatsapp. Damar bahkan belum online sampai sekarang.

Badanku sudah pegal. Apalagi sudah mau maghrib. Aku memutuskan turun ke lantai dasar dan pulang. Belum sempat keluar tiba-tiba hp dalam tas bergetar. Satu panggilan dari cowok paling tengil yang wajahnya dengan enggak sopan tersenyum lebar banget. Aku langsung mengangkat panggilan Damar.

"Apa!" bentakku kesal saking kerasnya hingga orang-orang di sekitarku terkejut. Bodo amat.

"Sabar dong mbak. Marah-marah aja, nih. Aku baru keluar bioskop. Jadi nggak wawancara?"

Bulu ketek! Seenak jidat aja dia bilang baru keluar bioskop dan tanya jadi wawancara atau tidak. Dia pikir aku dari tadi ngapain. Ya Tuhan kok hamba-Mu yang satu ini tengil, ngeselin, dan tidak tahu diri.

"HAH? aku uda di depan cgv dari jam TIGA! Enak banget ngomong baru keluar bioskop."

Damar tak langsung menjawab. Ada cekikikan tertahan di seberang sana. Bikin aku langsung melotot ke arah hp seakan menyuruhnya diam. Padahal dia pasti enggak bisa lihat wajah kesalku.

"Kamu berharap aku ngajak kamu nonton, ya?"

"Ha?" kok jantungku tiba-tiba deg degan. Kok aku jadi keringat dingin. Aku kesal bukan karena menyadari kalau ternyata enggak dia ajak nonton, kan.

"Udalah kamu di mana? Aku susulin nih, baikkan?"

Baik pantatmu bisulan! Enak banget dia. Mana uda mau maghrib papa dan mama pasti cemas banget aku belum pulang. Padahal aku ijinnya keluar sebentar. Tapi kalau enggak ketemu Damar masalah wawancara ini enggak bakal kelar-kelar.

"Tungguin di cincau station."

"Oke."

***
Jangan harap aku langsung ke sana. Datang dengan wajah ceria menegurnya. Cipika-cipiki apalagi langsung beramah-tamah. Enggak. Aku sengaja menunggu di food court sebelah sambil memandangi dia sibuk main hp. Berulang kali kepalanya celingak-celinguk ke sana ke mari. Aku langsung menutupi wajah dengan kertas menu. Pesan dari dia juga sengaja enggak aku baca. Biarin saja emang enak dibuat menunggu. Mampus!

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul lima lewat lima belas artinya bentar lagi maghrib. Lucunya Damar masih anteng di kursi dengan minuman dan hp di tangan. Enggak berniat beranjak. Sementara aku hanya cengengesan di seberang melihat tingkahnya. Biarin saja sekali-kali orang kayak dia harus dikasih pelajaran berharga biar enggak seenaknya.

"Damar!"

Seseorang yang datang dari arah belakangku menyapa Damar. Aku ikut menoleh. Ternyata seorang cowok. Dia terlihatdewasa, pakaiannya rapi dan necis khas anak kuliahan, juga menenteng ransel di punggungnya. Wajahnya segar dan tampan. Gaya rambutnya panjang ombak dan basah karena gel. Dilihat-lihat tampangnya aku seperti enggak asing dengan cowok itu.

Cowok itu langsung duduk begitu sampai di depan Damar. Namun, wajah Damar jadi berubah. Samar-samar aku melihat Damar jadi tidak nyaman. Tiba-tiba saja dia berdiri lalu hendak beranjak pergi dari sana.

Aku yang mengetahui itu spontan berdiri dari kursiku. Kalau Damar pergi tanpa wawancara sia-sia dong aku dari tadi di sini.

Aku buru-buru menghampiri Damar. Mata kami bertubrukan saat aku masih sejengkal lagi menuju tempatnya. Namun, mimiknya kini berubah total. Garis alisnya tegang menunjukkan amarah entah kepada siapa. Masa sama aku?

"Maaf lama tadi aku ke toilet," ungkapku berbohong.

Cowok yang tadi pun turut menghampiri kami. Untuk beberapa menit aku memperhatikan cowok itu kemudian aku baru ingat kalau pernah bertemu dengannya. Dia cowok dengan bibir berkedut itu, loh. Yang merekomendasi novel Damar. Pantas saja wajahnya nggak asing.

"Damar mau ke mana?"

"Pulang," jawab Damar ketus, lalu berlalu meninggalkan aku dan cowok tersebut.

Aku langsung menyusul langkahnya. "Katanya wawancara."

"Enggak jadi. Kamu lama."

Lah, dasar cowok tengil! Masa gara-gara aku isengin dia jadi marah, sih. Woy apa kabar aku yang dari jam tiga lebih jamuran depan cgv.

"Eh, kok gitu. Aku tadi juga nungguin kamu."

Bukannya menjawab langkah kaki Damar malah makin cepat dan panjang. Aku enggak bisa mengejar lagi. Akhirnya cuma berdiri di belakangnya yang terus berjalan tak mempedulikanku di belakangnya. Dasar kutu kupret!!!!

"Damar marah, ya?" suara lemah datang dari arah belakang. Oh, ternyata cowok tadi juga mengekoriku. Wajahnya tampak kecewa dan lesu.

"Oh, iya kenalin aku Ananta." tangannya terulur padaku. Aku menyambutnya dengan ragu-ragu. "Aku kakak Damar."

Otomatis gerakan tanganku terhenti. Untuk beberapa aku cuma memandangi cowok itu tanpa ekspresi. Dan bodohnya tangan kami masih bertautan. Lah, pantas saja waktu itu dia merekomendasikan novel Damar padaku. Ternyata kakaknya.

"Eh maaf, Kak." Aku buru-buru melepas ikatan tangan kami.

Ananta tersenyum. "Kamu?" nada suaranya menggantung dan aku baru ingat belum sempat mengenalkan namaku sendiri saking terkejutnya.

"Aku Misha, panggilannya Icha."

Ananta mengangguk. Aneh, ya. Adiknya bisa setengil itu, kok kakaknya selembut ini. Apa iseng aku tanya mereka satu bapak-ibu nggak ya?

"Kamu teman sekolah Damar?"

"Iya, Kak."

"Rumah kamu di mana? Mau aku antar?"

Ya ampun sudah baik, ramah, perhatian pula. Aku semakin yakin Damar dan Ananta ini bukan saudara kandung.

"Enggak usa, Kak. Aku naik ojek online saja." sebenarnya senang juga diajak pulang bareng cowok ganteng. Tapi berhubung sudah terlanjur jengkel sama adiknya aku jadi enggak enak kalau menerima ajakan kakaknya.

"Uhm, sebenernya ini sebagai permintaan maafku juga karena uda ganggu acara kamu dan Damar. Aku antar saja, ya."

Eh, acara apanya?! Uda dua kali aku dipermainkan sama adiknya. Kalau saja peran Ananta dan Damar dibalik. Uh, bisa sukses wawancara artikelku hari ini.

Meski sudah berulang kali kutolak dengan berbagai alasan, tapi Ananta masih bersikeras mengantarku. Akhirnya aku mengiyakan ajakannya daripada lama berdebat di pintu parkiran.

Sepanjang perjalanan di mobil kami enggak berbicara satu sama lain. Meski ada berbagai pertanyaan mengganjal di benakku. Salah satunya, kenapa coba Damar jadi ngamuk-ngamuk kayak cewek lagi pms pas kakaknya datang? Masa sih dia kesal karena ketahuan sedang janjian sama cewek? Ah, janjian apanya?! Tapi kira-kira kenapa ya?

***

Who is Author of The OrionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang