(8)Permainannya yang tak kumengerti

23 3 0
                                    

"Nggak apa-apa, kan mbak?"

"Iya mas nggak apa-apa mungkin Vivi cuma syok. Ehm, itu teman masnya juga kaget berat kayaknya."

Aku masih termenung gara-gara kejadian barusan. Jantungku berdebar kencang. Mataku mengerjap berulang kali. Rasanya ada pasir menempel di pelupuknya. Tubuhku kaku dan kedua tangan gemetar hebat. Masih bisa bernapas saja syukur.

"Cha, kamu nggak apa?" Damar menguncang bahuku. Aku masih belum mampu meresponnya dengan baik. Jadi kuanggukan saja kepalaku sebagai pertanda.

Damar kelihatan bingung dengan respon yang kuberikan. Aku enggan menjelaskan padanya. Dia segera melepas ransel di punggungnya. Mengobrak-abrik isinya. Kemudian tiba-tiba menyodorkan sebotol minuman yang isinya tinggal seteguk saja padaku.

"Nih lumayan buat nenangin."

Aku menggeleng. Sumpah deh air segitu mana bisa sih bikin tenang. Dasar kutu kupret!

Damar mendengkus. Dia masukkan lagi botol ke dalam tas. "Cha kamu yakin nggak apa-apa? Nggak ada yang luka?"

Damar mencoba memeriksa tubuhku, tapi tak kubiarkan dia melihat luka di lutut. Duh, ini pasti kulitnya sobek. Perih banget.

"Maaf ya mbak, mas. Lain kali saya nggak biarin Vivi keluar rumah. Kalau mau minum atau ada yang luka silakan mampir rumah saya tinggal masuk gang situ."

"Nggak usa mbak makasih. Saya juga minta maaf."

Nggak seperti Damar yang bisa menjawab dengan tenang, aku cuma mengangguk pasrah menanggapi perempuan itu. Ku tengok wajah Vivi yang sama pucatnya seperti aku sekarang. Kasihan kucing itu. Dia pasti nggak kalah terkejutnya sama kayak aku karena kejadian barusan.

Selepas perginya si perempuan dan Vivi di gendongannya. Damar langsung terpingkal-pingkal di sampingku. Dia nggak berhenti tertawa sambil megangin perutnya. Wajahnya bahkan sampai kemerahan dan matanya berair. Sumpah nggak waras, dia ngetawain apa, sih. Kami kan baru saja kecelakaan.

"Hahaha... ya ampun, Cha kamu nggak mau ketawa apa? kita barusan hampir nabrak kucing." Tuh, kan dia bener-bener sinting.

"Kamu nggak beres ya hari ini? Nabrak kucing malah cekikikan gitu. Untung itu kucing nggak mati," protesku sewot. Walau nggak terlalu suka binatang , tapi lihat wajah syok kucing tadi kan kasihan juga.

"Kamu tahu nggak wajah kucingnya persis kayak kamu. Pucat, kaget, lucu, begitu." Damar meledakan tawanya kembali. Baru berhenti setelah aku berhasil memukulnya dengan tas ranselku.

Damar membantuku bangun. Kakiku masih terasa sakit. Tepatnya berada di bagian lutut. ada luka sobek dan darah. Terinfeksi pula dengan pasir bikin makin perih. Aku jalan terpincang menyusul Damar. Dia yang baru sadar aku kesakitan langsung berlutut memeriksa lututku. Reflek aku pegangi rokku dengan kedua tangan. Ya ampun ini jantung mendadak ikut nyut-nyutan.

"Wah luka ini Cha. Kalau nggak mau infeksi kudu dibersihin." Damar mendongak menatapku. "Kita mampir rumahku dulu ya ngobatin lukanya. Nggak jauh, kok."

Aku masih tak sempat menjawab, tapi Damar langsung bangun dan membopongku ke motornya. Dia bantu aku duduk kembali seperti saat di sekolah. Motor mulai melaju lagi. Dan saat inilah aku baru kepikiran nolak ajakan Damar ke rumahnya.

"Nggak usa deh. Kamu antar aku pulang aja. Nanti aku obatin sendiri."

"Dari sini lebih deket ke rumahku daripada rumah kamu."

"Ha?"

"Kamu suka banget sih ngomong ha." Damar memprotes, tapi aku abaikan.

Dia ini bener-bener mahkluk bumi teraneh yang pernah aku temui. Kalau rumahnya lebih dekat daripada rumahku ngapain dia ngajak aku pulang bareng. Itu artinya dia harus putar balik lagi kalau mau pulang. Aku jadi curiga apa pikiranku bahwa Damar sebenernya sedang deketin aku bener, ya?

Who is Author of The OrionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang