Dalam empat hari berjalan, tidak ada satu hari pun aku lewati dengan tenang saja. Rasanya mustahil menulis "empat hari kemudian" dengan mudah setelah Damar dan aku menentukan jadwal wawancara kami. Setiap kali ada kesempatan aku sepintas melihat Damar menaruh pandangannya padaku.
Kami sebenarnya tak bicara soal wawancara atau novel belakangan ini. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkanya. Ada banyak pertanyaan terus bermunculan dalam pikiranku. Namun, aku harus tetap menahan hingga dilanda mati rasa karena penasaran.
Tiba di hari jum'at pikiranku makin menjadi-jadi. Pertanyaan seputar teknik mengoper bola pada soal ujian olahraga yang tidak menarik perhatianku sama sekali, hingga aku lupa pada jawaban nomor berapa tadi aku tuliskan "tidak tahu, saya pusing."
Dasar Icha gila!
Guru yang menjaga ruang ujian sudah keluar membawa serta soal dan lembar jawaban. Anak-anak dengan antusias berhamburan keluar ruangan.
Aku menunggu hingga cowok di sampingku pergi. Karena hanya baru setelah itu aku bisa mengajak ngobrol Damar sekaligus memastikan tentang wawancara kami.
Setelah cowok itu benar-benar pergi aku memberanikan diri membalikkan badan.
Damar terlihat sedang bermain dengan hp yang ada di tangannya. Kerutan di dahinya mengisyaratkan bahwa "tidak sedang ingin diganggu". Dia sedang fokus. Tapi aku tak bisa menahan lebih lama lagi. Wawancara hari ini harus terjadi. Tidak boleh ada halangan lagi seperti sebelumnya.
Aku mengamati Damar. Merapalkan kalimat yang akan kukatakan dalam pikiran. Menunggu hingga dia sadar sudah dipelototi sedari tadi. Tapi kesalnya Damar tak juga mengenyahkan pandangan pada hp yang sedari tadi dipegang dengan posisi lanskap itu.
"Damar."
Aku berusaha menjernihkan suaraku. Meski tahu hal itu selalu gagal tiap aku merasa grogi.
"Hmm." Damar bergumam. Matanya tak sedetik pun beralih padaku.
"Nanti kita jadi wawancara, kan?" tanyaku memelas. Untung dia tak melihat ekspresiku saat ini. Memalukan. Ya ampun.
"Iya," jawabnya.
Aku menghela napas lega. Meskipun Damar kembali bersikap meyebalkan, kali ini aku akan lebih sabar. Mungkin sejak awal harus begini cara menghadapinya. Lagipula sebentar lagi aku akan mewawancarai penulis novel kesukaanku, The Orion.
Kemungkinan Damar plagiat memang belum hilang seratus persen, tetapi semenjak dia mengatakan kalimat paling aneh untuk ukuran anak SMK kemarin. Rasanya aku bisa tahu dia adalah penulis kisah Orion yang sebenarnya. Kalau begitu kebenaran Damar plagiat versus Damar adalah Antariksa sekarang 50:50.
***
Selepas ujian terakhir kami selesai aku langsung menghadang Damar di kursinya. Takut kalau dia bakal mangkir dari janji wawancara. Aku nggak akan kasih kesempatan dia untuk kabur atau meninggalkanku lagi kali ini.
"Iya, iya santai, Cha. Aku bakal wawancara kok sama kamu. Jangan kayak orang mau nangkep maling gitu," ujarnya mengomentari aku yang berdiri merentangkan kedua tangan di depannya.
Aku langsung menurunkan kedua tanganku. Diam-diam menggigit bagian dalam pipiku.
Dasar, Icha! Kenapa kamu jadi kayak orang gila gara-gara masalah ini?!
Elang dan Jessica yang menunggu kami menertawakan aksi konyolku barusan.
Aku segera beranjak dari kursi dan menghampiri mereka. Kedua tanganku mengepal siap membungkap kedua mulut mereka kalau tak berhenti tertawa.
***
Setelah menunggu Damar dan Elang melaksanakan sholat jum'at di masjid sekolah, kami memutuskan singgah di salah satu restoran fast food paling terkenal di kalangan anak sekolahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who is Author of The Orion
Teen FictionDamarlangit, seorang siswa SMK Anugerah jurusan "Kandang Binatang" membuat heboh satu sekolah. Pasalnya keberadaannya hilang timbul, tak ada yang istimewa darinya hingga suatu hari dia digosipkan berhasil menerbitkan novel yang meledak di pasaran. I...