Kita Masih Bisa Sama-Sama, Kan?

182 24 44
                                    

"Duileh, lagaknya udah kayak dunia mau kiamat aja." Nyinyir Jae begitu menemukan Jinandra yang lagi-lagi melamun. Ia merangkul pundak sang teman baik. "Mau lo pikirin sebanyak apapun, sampe mau setebel skripsi, kalo dipikirin doang ya percuma."

"Pedes amat tu mulut. Kayak gado-gado karetnya dua. Kasih waktu Jinandra buat mikir dulu nggak apa-apa kali, Jae." Walendra yang baru datang spontan menghardik Jae. "Eh, Doni mana? Jamie juga belom dateng?"

"Hahaha, ngomong sama Jinandra emang mesti tegas, Wal. Kepalanya batu soalnya. Lagian kalo dia kebanyakan mikir, ujung-ujungnya cuma nyalahin diri sendiri. Kebiasaan." Jae tertawa tanpa merasa berdosa. "Si Doni jemput Jamie tadi katanya. Padahal Jamie kan bisa kesini sendiri ya? Biarin aja dah, hahaha." Jae lagi-lagi tertawa.

Jae kembali menatap Jinandra. "Action dong, Jin! Samperin kek, minta maaf kek, atau tanya alasannya apa. Jangan kebanyakan mikir. Too much thinking will kill you, slowly and torturing." Dipegangnya erat pundak sang teman baik. Selain punya nyawa banyak, Jae memang orang yang paling lama berteman dengan Jinandra. Bahkan jauh sebelum anggota The6 lainnya mengenal lelaki satu itu. Maka tak heran jika ia sudah bisa mengerti watak sang teman baik, dan juga bisa santai saja bermulut pedas pada temannya yang sedang galau itu.

"Udah coba ngehubungin Hani lagi belom, Jin?" Ini Walendra yang bertanya.

Jinandra menggeleng pelan, membuatnya dihadiahi tatapan tajam oleh Jae. "Bodoh! Lo tuh ditolak lamaran, bukan diajak putus. Kenapa malah jadi lost contact, sih?!" Desisnya pelan. Nampaknya teman jangkung kita ini memang punya nyawa sembilan, saudara-saudara.

Jinandra tersenyum miris, mungkin lebih tepat disebut meringis. Ia bukannya tidak punya niatan menghubungi Hani. Selama beberapa hari ini, ia berulang kali memelototi nomor kontak Hani, mengumpulkan keberanian untuk menghubungi sang pujaan hati. Begitupun dengan kolom pesan pribadinya dengan Hani. Bahkan ia sudah menulis panjang lebar, yang akhirnya ia urungkan. Ia belum punya keberanian yang cukup untuk menghadapi Hani. Berbagai pertanyaan menghantui pikirannya. Apa alasan Hani? Apa yang kurang dari dirinya? Apakah Hani akan makin menjauhinya jika ia memberanikan diri untuk bertanya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali memenuhi pikiran Jinandra, membuat nyalinya makin menciut.

Ya, pada akhirnya Jinandra (masih) bertahan untuk pasrah.

*****

"Dikomunikasiin, Jin. Tanya sama Hani, dia maunya gimana. Gue yakin, dia bukannya mau nge-akhirin hubungan sama lo, kok." Setelah keheningan yang panjang, Brian akhirnya buka suara. Ia menghela napas berat. Haruskah ia beritahu Jinandra mengenai percakapannya dengan Hani beberapa hari yang lalu?

Brian menggeleng pelan. Nggak, nggak boleh. Hani udah percaya sama gue, gue nggak boleh mengkhianati kepercayaan itu. Batinnya mengatakan demikian, membuat Brian kembali memutar otak untuk menyadarkan Jinandra.

Aha! Akhirnya Brian punya jalan memutar yang ia rasa bisa sedikit membantu hubungan kedua teman baiknya itu. Ia lantas mengutarakan pikirannya. "Kunci suatu hubungan itu komunikasi, Jin. Udah ada beberapa hubungan yang gue liat nggak berhasil gara-gara komunikasi yang nggak baik. Kalo lo mau contoh, bisa liat bokap-nyokap gue tuh hahaha." Brian tertawa, menutupi hatinya yang terasa perih.

"Gue yakin sih, komunikasi lo sama Hani udah top. Cuma mungkin, mungkin nih ya, gue juga nggak tau," Brian masih sempat-sempatnya ragu, "mungkin ada beberapa hal yang masih kurang kalian komunikasiin. Entah karena canggung, atau karena nggak tau cara ngomongnya gimana. Pelan-pelan aja, namanya juga manusia. Tapi jangan sampe jadi nggak komunikasi sama sekali." Brian akhirnya menyudahi petuah panjang lebarnya.

Walendra menganga. "Tumben bijak, Bri? Kesambet apa lo?"

Brian tertawa menanggapi celetukan asal Walendra. "Hahaha iya nih, abis makan beling gue. Jadi kuda lumping."

Will You Marry Me? | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang