Obrolan Dari Hati

128 18 17
                                    

Hani berbaring, terdiam sambil memandangi langit-langit kamar. Jinandra sudah pulang sedari tadi. Sepulangnya sang kekasih, Hani daritadi memang hanya berdiam di kamarnya sendiri. Sekian lama ia termenung, memikirkan berbagai macam hal yang menganggu pikirannya.

Foto yang dijadikan wallpaper handphone oleh Jinandra kembali terngiang di benaknya. Rasa insecure kembali mencuat. Rasa tak pantas menggerogoti pikirannya, membuat otaknya terasa penuh.

Hani minder. Hani minder dengan Jinandra. Lelaki itu terlalu terang. Sang kekasih terasa seperti rembulan yang menerangi kelamnya malam. Seperti matahari yang mencerahkan hari-hari mendung nan kelabu. Terkadang saat melihat Jinandra disisinya, Hani merasa dirinya egois. Ia takut, takut cahaya kekasihnya itu memudar, tertutupi kegelapan yang ia bawa.

Hani juga minder dengan keluarga Jinandra. Sang pacar berasal dari keluarga baik-baik. Keluarga bahagia dan juga harmonis. Seringkali saat berada diantara Jinandra dan keluarganya, ia merasa kecil. Amat sangat kecil. Ia merasa benar-benar tak pantas disandingkan dengan sang lelaki.

Hani takut. Hani takut Jinandra akan terluka karenanya. Ia juga takut jika ia nantinya tak bisa membuat kekasih hatinya itu bahagia. Bukan, Hani bukannya berpikir untuk melepas Jinandra, bagaimanapun juga ia sangat menyayangi kekasihnya itu. Tapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa dirinya tak pantas menggenggam Jinandra. Kembali lagi ke alasan awal, Hani takut melukai lelaki kesayangannya.

Tiba-tiba, peristiwa lama kembali berputar di memorinya. Bukan memori yang menyenangkan, tentunya. Tanpa disadari, pelupuk bola mata Hani sudah berair. Matanya memanas. Dadanya terasa sesak. Ia benamkan wajahnya di bantal, berusaha agar tangisannya tak terdengar keluar.

*****

Tok... tok...

Suara ketukan pintu mengagetkan Hani yang masih melamun, setengah menangis. "Hani... Mama boleh masuk?" Terdengar suara sang Mama yang berdiri dibalik pintu. Hani terkesiap, segera menghapus air matanya dan beranjak membukakan pintu.

"Kamu lagi ada masalah, Nak?" Bagaikan cenayang, Mama Hani tiba-tiba bertanya, membuat Hani kaget setengah mati.

"Hah?" Hani gelagapan. "Eum... nggak kok, Ma? Kenapa Ma?" Ia buru-buru berusaha mengatur ekspresinya, walau masih agak tergagap.

Mama Hani tampak tak percaya. Alis beliau dinaikkan, semakin memperkuat keraguannya akan jawaban sang anak. "Kamu yakin?" Pelan beliau berucap, namun maksudnya pasti. Ditatapnya mata sang anak lamat-lamat.

Hani jadi salah tingkah.

*****

"Sunni cerita sama Mama?"

"Cerita apa?" Bingung, Mama Hani malah balik bertanya. Tatapannya tampak menyelidik.

Yah, salah ngomong, Hani membatin. Ia meneguk ludah kasar, dalam hati sudah memaki-maki pertanyaan yang ia ajukan sendiri. "Eum.... eum.... Ya, gitu Ma..."

Mama Hani tersenyum tipis, sebelum ikut duduk disamping sang putri. "Nggak, Andra nggak pernah bilang apa-apa sama Mama, tapi perasaan Mama yang bilang kalo lagi ada yang nggak beres diantara kalian. Kamu jangan ngeremehin insting seorang Ibu ya, hahaha." Mama Hani melempar candaan, mencoba mencairkan suasana. Ia belai pelan surai rambut putri semata wayangnya. "Ada apa, Nak? Apa ada yang mau kamu ceritain ke Mama?"

Hani menarik napas, diam-diam sudah menggigit bibir bawahnya sendiri. "Ma, menurut Mama pernikahan itu gimana sih? Menikah itu worth it nggak sih, Ma?"

Will You Marry Me? | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang