Chapter 3 - Mari Mulai Penderitannya

780 83 0
                                    

Tetapi, Jeno tidak bisa memaksa kakinya bergerak satu langkah pun.

.

.

.

Walaupun penampilan gadis itu tidak terlalu tinggi kendati sudah memakai sepatu bertumit stiletto, ada sesuatu dalam sosoknya—yang setipis cambuk dan selurus pedang anggar—yang membuatnya kelihatan tinggi.

Masih banyak lagi kontradiksi dalam diri gadis itu selain tinggi badannya—dia kelihatan gelap sekaligus terang dengan rambut sepekat tinta dan kulit sewarna gading, perawakannya yang mungil namun tegas terkesan lemah-lembut sekaligus kuat, juga kelihatan mengundang sekaligus menolak dengan liukan tubuh memesona di bawah wajahnya yang menyiratkan ekspresi bermusuhan.

Hanya satu hal yang tidak terlihat bertentangan dalam diri gadis itu—tak perlu dipertanyakan lagi gaunnya adalah sebuah karya seni, lidah-lidah kulit merah terang menyala melintangi bahu seksinya menjilati lekuk-lekuk tubuh rampingnya sampai lidah-lidah itu mencium lantai. Saat dia melintasi lantai dansa, mata para wanita mengikuti ayunan gaunnya penuh rasa iri, sementara mata para lelaki menyusurinya penuh damba.

Ada satu lagi fenomena yang menyertainya saat gadis berpakaian merah menyala itu menerobos kerumunan orang-orang yang menari, pekikan kecil bernada ngeri, kesakitan, sekaligus malu merebak disekelilingnya dalam arus pusaran aneh yang bisa jadi hanya kebetulan. Satu tumit tinggi mendadak patah sehingga kaki orang yang memakainya terkilir. Sehelai gaun satin robek di sepanjang keliman dari paha sampai ke pinggang. Sebelah lensa kontak melompat dari mata seseorang dan hilang di lantai yang kotor. Strap bra seseorang putus menjadi dua. Sebuah dompet keluar sendiri dari saku. Seseorang mengalami kram tak terduga yang memberitahukan haidnya datang lebih awal. Seuntai kalung pinjaman putus berantakan, menghamburkan hujan mutiara ke lantai.

Bencana-bencana kecil terus berputar menciptakan lingkaran penderitaan kecil-kecilan.

Gadis kegelapan itu tersenyum sendiri seolah bisa menghirup kesakitan itu di udara dan menikmatinya—barangkali malah bisa mencicipinya juga, kalau menilik caranya menjilat bibir penuh penghayatan.

Setelah itu dia mengerutkan dahi, alisnya bertaut seakan tengah berkonsentrasi sangat keras. Seorang cowok yang sedang memandangi wajah gadis itu melihat kerlip merah aneh di kalungnya, seperti lesatan percikan bunga api merah. Seketika itu pula semua orang berpaling memandangi Moon Taeil yang mendekap lengannya sambil berteriak-teriak kesakitan. Dia mengalami dislokasi bahu padahal dia menari dalam gerakan ringan dan lambat.

Gadis bergaun merah itu tersenyum puas.

Diiringi kelotakan tajam tumit sepatunya yang menghujam lantai gadis itu menyusuri ruang utama menuju kamar mandi perempuan. Erang kesakitan bernada lemah dan keluh-kesah mengekori kepergiannya.

Segerombol gadis sedang berkerumun di depan beberapa cermin sepanjang dinding di kamar mandi wanita. Mereka hanya sempat melongo sekejap memandangi gaun menakjubkan itu, hanya sebentar memperhatikan bagaimana gadis kurus di balik gaun itu menggigil sesaat dalam ruangan sesak yang terlalu hangat—sebelum kekacauan mengalihkan perhatian mereka.

Kegaduhan dimulai dengan Chou Tzuyu yang menusuk matanya sendiri dengan batang maskara. Tangannya menggapai-gapai karena kaget dan menghantam segelas penuh punch di tangan Im Nayeon, membuat Nayeon basah kuyup sekaligus menciprati tiga gaun lain di tempat-tempat yang paling tidak sedap dipandang. Suasana di dalam kamar mandi mendadak terasa lebih panas daripada suhu seharusnya ketika salah seorang gadis—yang dadanya terciprat noda hijau mengerikan—menuduh Nayeon sengaja menyiramkan punch ke arahnya.

Hell Comes To You [Jeno x Jennie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang