Chapter 5 - Ambisi Irene

435 50 0
                                    

Sambil menarik napas dalam-dalam untuk memantapkan hati, Lucas pun terburu-buru mendatangi meja minuman.

.

.

.

"Sial, sial, sial! Kenapa Lucas tidak langsung menembakkan pistolnya saja, sih?! Masih sempat-sempatnya dia berpikir tentang konsekuensi dan sebagainya. Aku sudah sangat tidak sabar ingin melihat kekacauan besar!" Gadis kegelapan di kamar mandi memaki sambil menggeleng-geleng gusar. Dia bernapas dalam-dalam dua kali lalu lehernya mendengkurkan bisikan untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Masih banyak waktu. Butuh sedikit alkohol lagi untuk membuat benaknya berkabut dan menghilangkan kesadarannya... sabarlah. Masih banyak adegan yang harus diikuti, masih banyak sekali detail yang menyusul..." Dia mengertakkan gigi. Kelopak matanya kembali bergerak-gerak, kali ini lebih lama.

"Pertama-tama Taeyong dan Seulgi, kemudia Jisung dan Yeri," dia berkata-kata sendiri seperti sedang menyusul daftar tugas yang harus dikerjakan. "Huh. Setelah itu si Jeno yang suka ikut campur! Kenapa dia belum juga merasa sengsara?" dia kembali menarik napas untuk menenangkan diri. "Sudah waktunya asisten kecilku kembali bekerja."

Dia menekankan kedua tinjunya di pelipis lalu memejamkan mata.

"Irene," bentaknya.



Suara di kepala Irene terdengar tidak asing, bahkan terkesan akrab. Akhir-akhir ini pemikiran terbaiknya datang dengan cara seperti ini. Sungguh hal ini membuat hati dan pikirannya senang. Senyum licik tidak pernah luntur dari paras cantiknya. Irene melihat sekelilingnya mencari hal-hal menarik yang bisa membuat malamnya semakin menyenangkan. Dia sudah bosan berdansa di pelukan cowok ini—yang dia lupa namanya siapa—karena yang terpenting adalah pasangan cowok ini sudah menangis sedih sedari tadi.

"Ah, pasangan mana lagi yang sebaiknya kuputuskan tali cintanya?" Irene menggumam pelan hingga nyaris tak terdengar.

Tidakkah Taeyong dan Seulgi terlihat nyaman satu sama lain?

Irene menyeringai ke arah pasangan yang baru disinggung tadi.

Ada yang sedang bersenang-senang, ya? Apa itu pantas?

Tentu saja Irene tidak berpikir demikian. Nah, saatnya dia segera berpindah ke menuju kapal lain yang harus dia hancurkan. Pertama-tama dia harus lepas dari cowok ini.

"Aku harus pergi..."—Irene memandangi wajah pasangannya sambil berusaha mengingat-ingat nama cowok itu—"Ten."

Jari-jari Ten yang sedang merayap naik ke tulang rusuknya mendadak berhenti karena kaget.

"Yang tadi itu asyik, kok," Irene meyakinkan Ten sambil menyekakan punggung tangan ke mulutnya yang terbuka, seakan ingin menghapus semua bekas sentuhan cowok itu. Dia membebaskan diri dari Ten.

"Tapi, Irene... kukira..."

"Sudah, ya." Irene menjawab dengan malas. Dia mengibaskan tangan ke Ten dan segera melenggang pergi menuju target selanjutnya.

Senyum Irene setajam pisau cukur saat dia melenggok mendatangi Taeyong dan pasangan kencannya, cewek kurus bermata monolid yang entah-siapa-namanya itu. Selama satu detik yang singkat Irene teringat pada pasangannya yang resmi—Lee Jeno yang bersih kesat tanpa berdansa dengan siapa pun malam ini—dan dia jadi ingin tertawa keras.

Jeno pasti sangat bersenang-senang malam ini! Penghinaan yang ditumpahkan pada Jeno hampir sepadan dengan kesediannya datang bersama cowok itu, walaupun dia sendiri tidak bisa membayangkan apa yang dia pikirkan sampai mau-maunya menjawab iya. Irene menggeleng-geleng mengingat kejadian menjengkelkan itu. Jeno memandangnya dengan mata hitamnya yang seindah malam—selama setengah menit—dia pun jadi ingin menjawab iya. Ingin lebih merapat pada Jeno.

Hell Comes To You [Jeno x Jennie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang