Chapter Final - Di Dalam Pelukan Malaikat

767 50 3
                                    

Jennie mengembuskan napas. Embusan yang panjang dari inti dirinya. "Sekarang iya," sahutnya, dan anehnya terdengar sepertimenyesal. "Sangat senang."

.

.

.

Terjebak! Seperti idiot. Seperti orok baru lahir. Seperti baru jadi iblis saja.

Jennie bersandar ke pelukan Jeno. Dia tidak sanggup menolak. Tidak mau menolak. Dia memandangi mata suci cowok itu dan merasakan desakan paling konyol untuk mendesah.

Bagaimana dia bisa sampai tidak melihat tanda-tanda itu?

Bahwa kebajikan menyelubungi Jeno laksana perisai. Bahwa bisikan demi bisikannya langsung terpental tak berdaya di hadapan Jeno. Bahwa orang-orang yang malam ini selamat dari rencana jahatnya—gelembung-gelembung kecil kebahagiaan yang berada di luar kendalinya—adalah orang-orang yang disentuh oleh Jeno dan berinteraksi dengannya, yaitu teman-temannya.

Mata Jeno sendiri seharusnya sudah cukup untuk memperingatkannya!

Irene lebih cerdik daripada Jennie. Paling tidak instingnya membuat dia jauh-jauh dari cowok berbahaya ini. Begitu terbebas dari tatapan Jeno yang menusuk, Irene langsung menciptakan jarak aman. Kenapa Jennie sampai tidak mengerti alasan di balik semua ini dan alasan Jeno yang mula-mula memilih Irene. Tentu saja sebelumnya Jeno tertarik pada Irene! Sekarang semuanya jadi masuk akal. Jeno mempunyai insting kepada orang-orang yang berjiwa kosong seperti Irene dan dirinya.

Jennie mengayun tubuh mengikuti irama yang menggelegar membelah udara, merasa aman karena tubuh Jeno menyelubunginya, melindunginya. Sulur-sulur mungil kebahagiaan yang terasa asing meliuk-liuk di relung jiwanya yang kosong.

Tidak—jangan rasa itu! Jangan rasa bahagia!

Kalau Jennie merasa bahagia, maka hal-hal baik biasanya berada tidak jauh. Tidak adakah cara untuk menghindari keindahan cinta yang mengerikan itu?

Sangat mustahil, kalau kau sedang di dalam pelukan malaikat.

Bukan malaikat sungguhan. Jeno tidak punya sayap, dan tidak pernah punya—dia bukan makhluk otak burung bego yang menukar sayap dan keabadiannya demi cinta manusia, tapi salah satu orangtuanya berbuat demikian.

Sesungguhnya Jeno setengah malaikat, meskipun dia tidak tahu-menahu asal-usulnya. Kalau tahu, Jennie pasti bisa mendengarnya lewat pikiran Jeno dan kabur dari petaka keilahian ini. Sekarang fakta itu sangat jelas bagi Jennie—dari jarak sedekat ini dia bisa mencium aroma Hyacinth, bunga yang melambangkan ketulusan dalam dongeng Yunani, menguar dari kulit Jeno. Rupanya Jeno juga mewarisi mata orangtuanya yang mantan malaikat. Mata seindah malam berbintang yang bersinar sedikit keemasan—yang hanya bisa dilihat oleh malaikat dan iblis—seharusnya bisa langsung membuka jati diri Jeno seandainya saja Jennie tidak terlalu terbelenggu rencana jahatnya.

Ada alasan kenapa iblis berpengalaman seperti Krystal pun bersikap waspada bila menghadapi malaikat. Kalau menatap langsung mata iblis sangat berbahaya bagi manusia, maka beradu mata langsung dengan malaikat bahkan dua kali lebih berbahaya bagi iblis. Bila sesosok iblis terlalu lama menatap mata malaikat, maka blup!—api neraka mereka pun padam dan si iblis terjebak selamanya sampai si malaikat angkat tangan dan tidak lagi berminat menyelamatkannya.

Karena itulah pekerjaan malaikat. Menyelamatkan.

Jennie adalah makhluk abadi, dan dia akan terpenjara sampai seberapa lama pun Jeno memutuskan menahannya.

Malaikat sungguhan akan langsung mengetahui makhluk apa Jennie sebenarnya, mengusirnya jika kekuatannya cukup besar, atau menghindar sejauh-jauhnya kalau tidak cukup kuat. Tetapi, dengan insting untuk menyelamatkan seperti yang dimiliki Jeno, Jennie bisa membayangkan akan terasa seperti apa kehadirannya. Bagi Jeno yang lugu menyikapi kenyataan yang harus dipahaminya, kondisi Jennie yang merana pastilah terdengar seprti lengkingan sirene gawat darurat yang butuh petolongan segera.

Hell Comes To You [Jeno x Jennie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang