16| Izin

26 1 0
                                    

Adakah yang nunggu cerita ini up?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adakah yang nunggu cerita ini up?

It's more than 3900 words.
Bagi yang ga suka chapter panjang, silahkan mundur dari lapak ini :)

Selamat Membaca!


|||

"gajala stroke ringan kata dokter." Bahuku merosot seketika setelah bang Aji akhirnya memberitahuku.

Stroke? Bunda.... Sejak kapan?

"dalam beberapa hari pertama, cedera akibat stroke akan mencapai puncak maksimalnya, baru setelah itu akan stabil dengan sendirinya. Meski butuh waktu pemulihan yang lama, satu yang ga boleh putus, dukungan dan doa kita. Itu yang paling bunda butuhin." Jelasnya sembari menepuk-nepuk bahuku.

Suara tangisku ikut menghilang dalam jeritan sesak. Hanya harapan kesembuhan yang terus kurapalkan padaNya. Jika saja aku tak berani menekatkan diri pulang, pasti aku akan sangat menyesalinya.

Setelah banyaknya panggilan yang terlewatkan, aku terus berusaha menelpon ayah dan kak Alma beberapa kali yang sayangnya nomor mereka tidak aktif malah membuatku makin gusar dan tak tenang saja.
Tak lama, telpon bang Aji masuk setelah panggilan ku banyak dialihkan. Bang Aji bersikap setenang mungkin dan berpesan untuk terus mendoakan bunda. Tak perlu diminta, karna tanpa dimintapun nama bunda akan selalu hadir dalam doaku. Setelahnya, ia menyuruhku untuk pulang besok pagi. Mendengar itu, jelas saja aku kembali heran. Tumben. Tak biasanya ia bertingkah aneh seperti ini, seolah tengah menyembunyikan sesuatu dariku.

Dan sejak memutuskan sambungan telpon tadi perasaanku semakin tak menentu. Ada perasaan mengganjal dan makin membuatku tak tenang. Semua yang ku lakukan jadi tak beres.

Berkali-kali aku coba untuk menghubungi bunda, entah kenapa aku ingin sekali mendengar suara bunda.

"nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, silahkan coba -" Suara operator yang terdengar. Berulang kali.

Mungkin baterai handphone bunda habis. Tapi bunda selalu mengcharger handphone sebelum menyentuh angka 20%. Gelisahku makin menjadi. Ini sama sekali bukan kebiasan bunda menonaktifkan handphonenya. Ditambah bunda tak bisa dihubungi berkali-kali.

Selepas maghrib, karena perasaanku yang kian tak menentu, aku memaksakan diri untuk pulang kerumah dengan motorku tanpa memberitahu siapapun, termasuk orang rumah.

Saat tengah memakai kaos kaki, Uci sudah berdiri di depanku.

"aku ikut." Aku mendongak. Uci sudah memakai jaket juga sarung tangannya. "Aku ga bisa biarin kamu pulang malem-malem sendirian,Sha. Apalagi kamu mondar-mandir terus. Aku nggak mau ya terjadi apa-apa sama kamu." kata Uci langsung ku angguki. Tentusaja aku tak keberatan, justru lebih baik .

Autumn TalksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang